Rabu 15 Dec 2021 08:22 WIB

Magnet Keindahan Puisi Sufistik dan Pengakuan George Bush

Karya-karya sufi besar menginsipirasi dunia Barat, hingga detik ini.

Jalaluddin ar-Rumi (ilustrasi).
Foto: quantummethod.org
Jalaluddin ar-Rumi (ilustrasi).

Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, George W Bush, dalam sebuah pidatonya di hadapan Muslim Amerika Serikat saat masih menjabat sebagai presiden, pernah mengapresiasi karyakarya Jalaluddin al-Rumi. Puisi-puisi sufistik yang ditelurkan oleh sufi kelahiran Persia itu sarat akan makna dan pesan humanis yang universal.

Belum lagi nilai-nilai transendental di dalamnya. Pidato Bush adalah bentuk pengakuan kebudayaan Islam yang ikut berkonstribusi dalam peradaban Barat, terlepas dari kebijakan agresi militernya yang dianggap kontroversial.

Bukti lainnya juga menyebutkan bahwa karyakarya Rumi termasuk satu dari sekian buku Islam yang banyak diburu oleh warga Amerika Serikat pascatragedi 11 September. Rumi, memang cukup produktif dengan karya-karya puisi, prosa, dan qashidah. Di antara karyanya yang fenomenal, yaitu al-Matsnawi. Kumpulan syair ini terdiri dari 25.649 bait. Ada lagi Diwan Syams Tabriz yang memuat 36.023 bait. Di antara syair Rumi berbicara perihal kematian:

Masa akan merebut akhir yang mengagetkan.

Tidak ada waktu lagi menunda

Serigala kematian akan merobek sedekat mungkin,lelucon yang nestapa ini

Tentang relasi Tuhan dan hamba, Rumi menulis demikian:

Sesungguhnya Akulah akhirmu Jika Aku katakan jangan Engkau pergi ke sana, sungguh aku adalah kekasihMu Aku adalah sumber kehidupan di titik ketiadaan.

Pengalaman spiritual seseorang, seperti yang dialami oleh Rumi, menjadi magnet dan gerbang menuju rahasia di balik kata dan susunan kalimat. Pengalaman spiritual sejumlah tokoh sufi juga akhirnya dituangkan dalam karya sastra sehingga sastra Islam pun memiliki kaitan dengan sufisme.

Sisi lain keistimewaan Rumi adalah memadukan perpaduan olah rasa itu dengan daya magnetis dari lantunan musik. Rumi memakai musik untuk sarana dan media pendekatan terhadap Sang Pencipta. Musik menolong hati agar tetap luluh dan melembutkannya selalu.

Sang maestro menulis kitab al-Madaih. Karya yang berisikan tentang nadanada dan alunan pujaan wujud cinta kepada-Nya.

Lantunan musik yang syahdu mampu mengikis kesombongan hati dan menundukkan kecongkakan manusia di hadapan-Nya. Lewat musik, jiwa manusia akan larut, menyatu dengan keesaan-Nya.

“Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!” Begitu kutipan dari kitab monumentalnya, Matsnawi. Nyanyian seruling yang berasal dari peraduannya adalah kerinduan jiwa manusia yang terpisah dari sumbernya. Bait-bait ini membimbing jiwa untuk kembali ke tempat asal, tempat yang selalu ia rindukan dan kepadanyalah pada akhirnya ia akan kembali.

Nada seruling yang juga menjadi ciri khas musik Tarekat Maulawiyah memunculkan kenangan akan kampung halaman asal, sebuah kenangan paling dalam yang dirasakan oleh orang-orang yang didorong daya tarik surga dalam kehidupan ini dan orangorang yang tetap mendapat bimbingan utama Rumi.

Ratusan tahun sebelum Rumi, tokoh Ibnu 'Arabi adalah kiblat bagi para penyair sufi. Setidaknya dua karyanya yang monumental, yakni al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Sekalipun sebagian kalangan meragukan karya yang terakhir, ini adalah buah pemikiran sang tokoh.

Kembali, simbol-simbol dan istilah ketasawufan sangat kental dalam karya-karya Ibnu 'Arabi.

Tidak ada bagi seorang yang gila dalam nafsunya kecuali aduan jauh dan keterasing an.

Tetapi, aku sebaliknya. Sesungguhnya kekasihku dalam khayalanku, aku masih mendekat.

Kekasihku bagian dariku, dalam diriku, dan di sisiku, maka mengapa aku bertanya ada apa dalam diriku, ada apa dalam jiwaku

Dunia sastra memang cukup pelik, tak semua orang mampu menangkap pesan di balik susunan kata, dan struktur kalimat di tiap baitnya. Belum lagi penggunaan simbol-simbol yang sulit dicerna.

Tidak mengherankan bila anekdot itu muncul, bahasa sastra, atau puisi lebih tepatnya, dalam konteks tulisan ini, makna definitifnya hanya Tuhan dan penyair itu sendiri yang tahu. Sekalipun, ada upaya untuk memasuki dimensi si penyair.

Dalam kasus Ibnu Araby, langkah penerjemahan makna puisi-puisi yang ditulis dilakukan oleh para muridnya. Ada nama Sadr al-Din al-Qunawi (671 H) lewat kitabnya al-Fukuk. Tetapi, masih saja, ia terjebak dalam penjelasan yang rumit.

Meski demikian, konstribusi al-Qunawi menjadi pembuka bagi penikmat puisi sufistik Ibnu Araby.

Sebut saja, 'Afif al-Din al-Tilmisani, Mu'ayyad al-Din al-Jundi (690 H), Sa'id al-Din al -Farghani, dan Fakhr al-Din al-'Iraqi. Beberapa kriteria dan kaidah diletakkan untuk membaca pemikiran Ibnu Arabi yang tersurat dari karyakarya puisi sufistiknya.

Tentu ini menjadi pekerjaan besar. Membaca pemikiran pada masa lampau dengan segala kendala yang ada. Terutama penggunaan simbol dan istilah-istilah yang sulit dicerna. Ini bukan berarti bahwa susunan kata dan kalimat itu mustahil dicerna.

Sebab, mengutip hadis riwayat Said bin al-Musasyyib, dari Abu Hurairah, ada sebagian ilmu hikmah yang diketahui hanya oleh para ahli makrifat yang memiliki kedekatan dengan Allah SWT. Dan ilmu ini hanya akan dibuka di hati para hambaNya yang bersih, tidak bagi semua makhluk.

Wajar bila as-Syibli, tokoh sufi terkemuka pada abad kedua Hijriyah dalam bait syairnya tentang definisi tasawuf pernah mengatakan:

Tasawuf adalah dimensi yang tak terbatas, ilmu Suni, samawi, dan transendental Ada banyak faedah bagi para ulama yang mengetahuinya, Mereka adalah ahli hikmah dan ilmu spesifik.”

Namun demikian, satu hal yang memang tak bisa dimungkiri yaitu unsur afeksi dalam puisi-puisi, prosa, atau bait-bait lagu sufistik para maestro sufi, mempunyai magnet luar biasa. Kerinduan akan Tuhan, pengakuan kealfaan, ungkapan cinta, luapan kasih sayang dan rindu terhadap Baginda Rasul, adalah manivestasi rasa damai dalam diri seorang sufi. Ini di antara faktor mengapa karya-karya sufi besar menginsipirasi dunia Barat, hingga detik ini. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement