Rabu 08 Dec 2021 16:33 WIB

Tepatkah Hukuman Pidana Mati Bagi Terdakwa Koruptor ASABRI?

Perbaikan sistem hukum lebih efektif berantas korupsi ketimbang pidana mati koruptor.

Terdakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat (kanan) mendapat tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum terkait kasus korupsi dana ASABRI.
Foto:

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” jelas dia.

Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan ASABRI kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus ASABRI,” kata dia.

Indonesia Corruprion Watch (ICW) juga menilai hukuman mati bagi Heru Hidayat tidak tepat. "Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhan kepada wartawan.

Sayangnya, menurut Kurnia, dua jenis hukuman itu selalu gagal diterapkan secata maksimal. Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah dari yang diharapkan publik.

Tidak hanya itu, ia melihat upaya perbaikan mendasar untuk menunjang kerja penegak hukum juga tak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR. Akibatnya hukuman maksimal tak pernah diterapkan. Misalnya, RUU Perampasan Aset dan revisi UU Tipikor. "Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022," terang Kurnia.

Karena itu, ICW beranggapan hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi. Sebab, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara.

Justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati. Di luar itu, ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan ASABRI tuntutannya sangat tinggi.

"Sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, dan bekerjasama dengan buronan, malah sangat rendah?," kata Kurnia. Karena itu ia meminta publik juga harus kritis melihat hukuman mati ini.

Terdakwa kasus ASABRI, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU). Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh Jaksa karena dinilai tidak punya empati saat melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana ASABRI. Jaksa menuntut Heru Hidayat dengan hukuman mati karena dinilai terbukti melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun dari pengelolaan dana PT ASABRI serta pencucian uang.

photo
Sembilan Tersangka Kasus Korupsi Asabrir - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement