Selasa 07 Dec 2021 08:30 WIB

Mengapa tak Ada Pasar Selasa dan Sabtu di Jabotabek?

Kenunikan nama pasar di seputaran Jabotabek

Pasar Senen di era zaman kolonial.
Foto: istimewa
Pasar Senen di era zaman kolonial.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi

Ibu kota kerajaan Persia Pasargede. Orang Persia laki-laki disebut Ki Gede. Dalam konteks ini gede bukan besar. Pondok Gede dan Bojong Gede hunian orang Persia.

Kata pasar dari Pasar Gede. Kalau Pasar Burak di Banten bukan Persia, melainkan Irak. Burak di sini maknanya burung (jenis hewan). Tempat ini pernah menjadi pusat kerajinan burung-burungan dari tanah liat. Kalau ditiup bisa bunyi. Sampai dengan 1950-an di Jakarta masih dijajakan.

Pasar Senen (artinya permulaan, bahasa Swahili) di Jakarta Pusat, Pasar Rébo (artinya meriah, bahasa Swahili) di Jakarta Timur, Pasar Kemis (artinya belas kasih, bahasa Swahili) di Tangerang, Pasar Jumat (artinya berkumpul, bahasa Swahili) di Ciputat, Tangerang, Pasar Minggu (hari Santo Dominggo) di Jakarta Selatan. Semua pasar ini berada dalam wilayah budaya Betawi.

Selasa (artinya gelap, bahasa Swahili) tidak hari pasar, dan Sabtu (Sabat) juga tidak hari pasar. Kedua hari ini dipantang untuk transaksi.

Pantangan pada suatu waktu tak bisa berjalan karena pertambahan populasi dan perkembangan ekonomi. Akhirnya pasar dibuka setiap hari dengan jam buka berbeda:

1. Boker, pagi-pagi sekali 04.00 s/d 07.00

2. Pagi 07.00 s/d 10.00

3. Ciplak sekitar pukul 10.00 s/d  13.00.

Memang masih ada pasar dengan nama Pasar Boker di Pasar Rébo, Pasar Pagi di Kota, Pasar Ciplak di Sawah Besar dan Jakarta Timur, tapi ini sekadar nama saja. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement