Kamis 25 Nov 2021 16:48 WIB

Psikolog Tanggapi Kasus Persetubuhan-Pengeroyokan di Malang

Kejadian kekerasan juga bisa dilatarbelakangi adanya kesempatan dari pelaku.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Psikolog Tanggapi Kasus Persetubuhan-Pengeroyokan di Malang (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Psikolog Tanggapi Kasus Persetubuhan-Pengeroyokan di Malang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Beberapa hari terakhir, Kota Malang digemparkan kasus persetubuhan dan pengeroyokan yang dilakukan oleh anak-anak. Fenomena ini memunculkan tanggapan termasuk dari Psikolog Anak, Wulida Azmiyya El Rifqiya.

Menurut Wulida, kasus kekerasan yang dilakukan anak bukan hal pertama terjadi di Indonesia. Banyak sekali kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, baik sebagai pelaku maupun korban. "Dan kasus kekerasan nggak terjadi pada anak-anak saja, juga terjadi terhadap orang dewasa juga. Ya tindakannya fisik, verbal, seksual ada, yang psikis juga," kata Wulida saat dihubungi wartawan, Kamis (25/11).

Baca Juga

Seperti diketahui, anak sebenarnya masih dalam masa pertumbuhan  dan perkembangan. Jika ada sesuatu yang salah dalam masa tersebut, maka akan berdampak besar pada diri anak. Bisa berdampak juga pada siapapun yang mengalami pelecehan seksual dan sebagainya.

Wulida berpendapat, anak yang melakukan atau mengalami kekerasan biasanya sudah merasakan hal serupa sebelumnya. Namun pengalaman-pengalaman tersebut cenderung ditutupi sehingga membuatnya semakin tertekan. Hal ini bisa semakin parah apabila orang tua atau keluarga tidak merespons dengan cepat tindakan tersebut. 

"Jadi sebenarnya kalau ditanya kok terjadi lagi, sebenarnya semuanya bisa berpotensi," katanya.

Di samping itu, kejadian kekerasan juga bisa dilatarbelakangi adanya kesempatan dari pelaku. Dapat pula karena anak belum mendapatkan pendidikan seks. Terlebih lagi, pendidikan seks di Indonesia memang masih sangat kurang hingga sekarang.

Selanjutnya, kekerasan atau pelecehan juga dapat terjadi karena anak tidak berani untuk menolak. Ketidakmampuan untuk menolak ini bisa karena anak takut. Dapat juga karena diancam oleh pelaku dan kurangnya pengawasan dari orang tua.

Menurut Wulida, keberadaan dan sikap keluarga sangat penting dalam menghadapi kasus kekerasan pada anak. Pasalnya, keluarga merupakan orang terdekat yang memiliki pengaruh kuat untuk anak. Sebab itu, orang tua sudah seharusnya menyadari apabila menemukan kejanggalan pada anaknya.

"Harus aware ketika ada perubahan sikap yang signifikan atau drastis. Karena biasanya orang pertama yang mengetahui itu keluarga. Cuma sekarang apa-apa sudah diviralkan duluan. Tanpa keluarga tahu, sudah terlanjur viral dan lain-lain," ucap psikolog yang praktik di RS UMM dan RS UB ini.

Di samping orang tua, peran masyarakat juga penting untuk mencegah kasus kekerasan. Siapapun bisa mengajarkan anak untuk mendeteksi tanda-tanda orang akan melakukan kekerasan. Kemudian mendorong anak untuk menolak atau melaporkan kepada keluarga atau orang terdekatnya apabila menemukan potensi ancaman kekerasan.

Masyarakat juga perlu mengayomi, melindungi, tidak mengucilkan dan tidak memberikan penilaian buruk terhadap korban. Jika masyarakat memberikan penilaian buruk, maka akan membuat korban merasa minder atau semakin trauma. Bahkan, korban bisa menjadi takut untuk menjalani kehidupan bermasyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement