Senin 08 Nov 2021 15:49 WIB

Telah Lahir UU Terburuk dan Terjahat Dalam Sejarah Indonesia

Masyarakat harus mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU ini

Pelayan warung menyiapkan lauk pauk di sebuah warung Tegal (warteg) di Jakarta, Sabtu (6/11/2021). Pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun seperti warteg, menyusul disahkannya UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Foto:

 

 

Kedua, UU HPP ini juga membuka Tax Amnesty Jilid 2. Kurang logis sebab Indonesia belum lama mengadakan Tax Amnesty, yaitu pada tahun 2016. Tetapi yang amat di sesalkan adalah adanya Pasal 6 dan Pasal 11, yang menurut hemat kami sebagai pasal crime amnesty untuk “membantu atau memfasilitasi” pencucian uang. Pasal pasal ini memberikan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak (WP) yang melaporkan hartanya (dalam program Tax Amnesty Jilid 2 ini, UU HPP). Harta yang mereka laporkan  kepada Kantor Pajak tidak bisa dijadikan alat untuk menyelidiki, menyidik, maupun untuk tuntutan pidana. 

Dengan demikian siapa saja yang menyimpan atau menyembunyikan harta haramnya, mungkin dari hasil korupsi, bisnis narkoba, perjudian, pelacuran, perampokan, pemerasan, penyelundupan, dsb terbebas dari pidana cukup dengan melaporkan kepada Kantor Pajak dan membayar tarif PPh pengampunan. Aman, terputihkan dan bebas ancaman pidana. Terpenting, setelah hartanya dimunculkan/ diputihkan, kini hartanya bisa sah, resmi dan aman masuk ke banking system, untuk dibelikan sesuatu termasuk tanah, rumah dan SUN, dijadikan modal usaha, dll. 

Indonesia sungguh telah menjadi surganya para pelaku kejahatan melalui Tax Amnesty Jilid 2. Padahal tax amnesty itu seharusnya dimaksudkan untuk penghasilan atau keuntungan yang selama ini digelapkan atau dikecilkan oleh WP. Bukan untuk di jadikan alat perlindungan atau pemutihan dari kejahatan. Dan yang disesalkan, lagi lagi yang di gunakan atau “dititipi” untuk melegalkan kejahatan itu adalah UU yang berkaitan dengan keuangan negara (pajak). Mungkin cara ini lebih mudah, - tidak banyak yang merecoki,- daripada bila mengubah Kitab UU Hukum Pidana. Para pakar hukum pasti akan berteriak keras mengkritisinya. Sementara bila di titipkan di UU yang berbau ekonomi, pakar hukum mungkin lengah sementara para ekonom lebih menyoroti analisa ekonomi- keuangannya. Penyusupan pasal yang cerdik dan cerdas, yang mampaknya mampu mengecoh banyak pengamat hukum. 

Tapi kami yakin akan ada saja masyarakat kritis yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 6 dan 11 ini. Pasal yang kami duga  titipan para pelaku kejahatan yang ingin memunculkan hasilnya ke permukaan dengan aman. So, rasanya tidak salah bila ada yang menyindirnya dengan istilah bahwa banyak policy yang bukan business friendly tapi corruption friendly; bukan people friendly tapi crime friendly. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement