Selasa 05 Oct 2021 08:56 WIB

Jalan Tengah Bursa Kandidat Ketua Umum PBNU 

Kristalisasi kandidat Ketum PBNU dalam dua calon potensial picu gesekan

Kristalisasi kandidat Ketum PBNU dalam dua calon potensial picu gesekan. Ilustrasi Gedung PBNU
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Kristalisasi kandidat Ketum PBNU dalam dua calon potensial picu gesekan. Ilustrasi Gedung PBNU

Oleh : Nashih Nashrullah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, — Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama, jika tidak ada halangan insya Allah, akan digelar 23-25 Desember 2021. Mendiskusikan perhelatan lima tahunan tersebut selalu saja dinamis.

Hanya saja, jika dibandingkan dengan Muktamar ke-33 di Jombang 2015 lalu, diskusi publik sekarang tampaknya bergeser, lebih tertarik membicangkan siapa penerus estafet kepemimpinan PBNU, dibandingkan dengan narasi besar dan pergerakan NU, sebagaimana tema Muktamar Jombang berupa Islam Nusantara yang begitu seksi, dan nyaris mengisi diskusi-diskusi di semua forum. Asumsi saya ini, tentu bisa benar dan bisa juga salah.

Baca Juga

Saya tidak persis tahu penyebabnya, tetapi barangkali kelakar salah seorang sahabat, momentum kali ini dan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang, kelihatannya orang lebih tertarik mendiskusikan siapa ketua umum PBNU mendatang, ketimbang ide dan gagasan narasi yang ditawarkan Muktamar.

Kendati demikian di luar itu semua, Muktamar NU tetaplah seksi. Bukan saja karena kadernya yang ditaksir berjumlah 49,5 persen atau sekitar 108 juta orang dari jumlah penduduk Muslim Indonesia versi survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), melainkan kedudukan strategis NU, satu dari dua jangkar NKRI bersama Muhammadiyah sekaligus ‘pemilik saham’ negeri ini. 

Sebagai kader saya meyakini, bahwa nama-nama yang muncul dan banyak diperbincangkan di media sosial dan beredar di kalangan Nahdliyin sebagai kandidat calon ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendatang adalah kader-kader terbaik organisasi yang berdiri 1926 itu.

Ada dua nama tokoh sentral, setidaknya sampai detik ini yang mengerucut dan semakin menguat, yakni Prof KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf. Masing-masing mempunyai manaqib, keistimewaannya tersendiri.

Baca juga : Penjelasan Ketum MUI Soal Hukum Ibadah dan Muamalah

Tetapi dalam konteks penulis sebagai outsider pengamat pinggiran, kristalisasi dalam dua nama tersebut tentu kurang menguntungkan. Ini setidaknya akan memunculkan gesekan yang cukup kuat, sebagaimana terjadi pada Muktamar ke-33 Jombang lalu.

Sekalipun pada akhirnya, dalam kasus Muktamar Jombang lalu, kebekuan tersebut cair dengan cara dan gaya penyelesaian khas para kiai dan pesantren. Mungkin ini yang oleh seorang tokoh ulama kharismatik (tanpa saya sebut namanya), Allah yarham wa qaddasalahhu sirrah, dengan nada kelakar, kiai itu ya harus ‘gelut’ (berdinamika dengan kiai lain) kalau tidak ya bukan kiai namanya.     

Potensi gesekan ini ada mengingat...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement