Ahad 29 Aug 2021 19:19 WIB

Kampus Merdeka, Akankah Mahasiswanya Bahagia?

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka upaya menciptakan atmosfer belajar bahagia.

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka menjadi salah satu solusi pemerintah memperbaiki kualitas pendidikan di dunia kampus.
Foto:

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

Tengok penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Nizam yang menyebut program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka adalah upaya pemerintah membangun atmosfer kampus yang sehat. Kampus diberikan kemudahan menjawab tantangan global serta tanggung jawab akan peran terhadap masyarakat sesuai dengan tridarma perguruan tinggi untuk mendorong daya saing bangsa. Beragam program Kampus Merdeka dirancang agar mahasiswa dapat turut mewujudkan transformasi pendidikan.

“Kalau dulu diajarkan dalam ruangan-ruangan, satu orang fokus dengan satu program studinya, sekarang dengan adanya Merdeka Belajar-Kampus Merdeka kita dorong agar mereka bisa mengasah potensi yang dimiliki di program studi lain yang setara dengan 20 sks,” ujar Nizam.

Prof Nizam juga menyampaikan kampus menjadi mesin terpenting dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa. Karenanya kampus harus membangun sinergi dengan Dunia Industri dan Dunia Usaha (DUDI), pemerintah setempat, masyarakat, perbankan serta inkubasi bisnis juga perlu diperkuat.

Implementasi Merdeka Belajar-Kampus Merdeka ini harus dimulai dengan membangun atmosfer kampus yang sehat, aman dan nyaman. Kampus yang sehat adalah ekosistem penting untuk melahirkan insan-insan yang merdeka, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kritis dengan daya nalar tinggi, juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Jika Anda membaca buku pedoman Merdeka Belajar setebal 42 halaman yang dikeluarkan Kemendikbud-Ristek, Anda akan memahami jika program tersebut membantu mahasiswa dan kampusnya bisa memahami impian sang mahasiswa saat dirinya melaksanakan kegiatan perkuliahan di kampus. Kita tidak bisa menutup mata, banyak mahasiswa yang tidak tahu ingin menjadi apa atau mau bagaimana ketika awal-awal masuk dunia kampus. Namun, lewat program tersebut mahasiswa akan dipaksa menentukan pilihannya terkait minatnya dalam belajar. Mahasiswa juga dipaksa merancang masa depannya sejak di kampus dan bukan ‘bagaimana nanti saja setelah lulus’ seperti yang selama ini banyak dialami mahasiswa.

Patut dicatat, program ini seperti yang dijelaskan di atas, mengarahkan mahasiswa agar lebih fokus dalam belajar karena merekalah yang menentukan akan menjadi apa setelah lulus. Seandainya ingin bekerja di perusahaan, mereka akan memilih program magang di perusahaan sembari melengkapi mata kuliah yang diperlukannya, dengan mengikuti perkuliahan di prodi atau kampus lain.

Program ini juga membuka ruang untuk mahasiswa yang ingin menjadi pengajar atau menjadi pengusaha. Karena itu, saya berpendapat, seluruh civitas akademik perlu legawa memahami program tersebut. Di kampus mulai dari rektor sampai dosen.

Rektor adalah pemimpin yang menganut asas dan gaya kepemimpinan partisipatif, di mana ciri utamanya adalah melibatkan segenap anggota timnya dalam mengambil keputusan (Mitch McCrimmon, 2007). Kongkritnya, seorang rektor seharusnya selalu menerapkan prosedur pengambilan kebijakan yang mengutamakan asas musyawarah dan pelibatan potensi civitas akademika.

Karena itu, keberhasilan program ini tentu saja bukan hanya satu pihak. Tak hanya mahasiswa yang diminta berkreasi, pihak kampus pun diminta berinovasi dalam menjalankan roda perkuliahan. Jangan sampai saban tahun sebuah perguruan tinggi hanya bertugas sebagai "penjual ijazah" kepada SDM yang tidak siap menjawan tantangan di dunia kerja atau usaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement