Oleh : Yudha Manggala Putra, Jurnalis Republika.co.id
Bersyukur masih bisa dilakukan meski di tengah kesusahan. Seringkali, terdapat nikmat tersembunyi, di balik ujian. Bersyukur masih ada teman dan keluarga yang sayang. Bersyukur diberikan sakit sehingga lebih dekat pada Tuhan. Bersyukur sakit, sehingga lebih menghargai sehat. Pada akhirnya, bersyukur juga mendorong berpikir positif. Meyakini ada hal baik atau hikmah dari setiap ujian.
Bahagia juga bisa dicapai dengan cara berbagi kebahagiaan. Ya, menularkannya. Penulis novel populer Asma Nadia menyebut bahagia, sejatinya sebuah keahlian. Sebagaimana sebuah keahlian, menjadi bahagia bisa dilatih, dipupuk, dan dikembangkan. Demikian juga, menularkan atau membuat orang lain mampu berbahagia. Di tengah pandemi, keahlian untuk menjadi bahagia dan membahagiakan lebih dibutuhkan.
Salah satunya dengan berbuat kebaikan. Alhamdulillah, banyak kebaikan yang penulis rasakan selama menjalani pemulihan Covid-19. Baik itu dari teman, keluarga, dokter, hingga perawat. Tidak sekadar bantuan fisik. Doa, harapan, motivasi, dan dukungan moral termasuk di antaranya.
Pada akhirnya, kebahagiaan, tidak bisa dikesampingkan, juga dicapai dari tubuh sehat. Caranya lewat pola hidup sehat seperti berolahraga teratur, mengonsumsi makanan sehat, dan istirahat cukup. Olahraga menurut banyak studi, dapat meningkatkan hormon endorfin. Hormon ini memicu perasaan senang dan mengurangi rasa sakit.
Olahraga juga dapat mengurangi kecemasan dan membuat tidur lebih nyenyak. Ini mengindikasikan kebahagiaan dapat tercapai bila tubuh kita sehat. Seperti ungkapan lama, “Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”.
Konsep kesehatan jiwa-badan ini juga termasuk diutarakan ulama besar Indonesia Hamka. Hamka menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan sempurna dan hakiki, manusia dapat menempuh beberapa cara seperti membangun mentalitas dan jiwa beragama, mengendalikan hawa nafsu (zuhud), bersikap ikhlas, memelihara kesehatan jiwa-badan, bersikap qana’ah, dan tawakkal (Fuadi, 2018).
Pandemi, seperti disebutkan sebelumnya, memang berefek luar biasa. Ia menjungkir balikkan kenormalan dan tatanan hidup. Banyak yang tidak siap menghadapinya. Sebagian terlalu siaga, cemas, dan waspada.
Dampaknya bukan lagi sekadar merugikan kesehatan fisik. Kesehatan mental ikut terancam. Karena itu memerangi pandemi tidak lagi berfokus pada memakai masker ganda, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Merawat emosi positif juga senjata melawannya. Bahkan mengobati.
Sejumlah studi memperlihatkan bahagia mempengaruhi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang. Sebaliknya stres justru melemahkannya.
Penulis beruntung memiliki pengalaman baik selama isolasi. Bahagia membuat proses pemulihan terasa lebih mudah. Bahagia juga membuka banyak pintu hikmah. Ia mendorong untuk selalu berpikir positif dan membuat orang lain bahagia. Karena itu, sebagai penutup, izinkan penulis meneruskan pesan sederhana ini: Jangan lupa bahagia.