Ahad 18 Jul 2021 07:00 WIB

Utak-Atik Vitamin D untuk Senjata Covid-19

Suplemen vitamin D saat ini banyak dicari karena disebut bisa tangkal dan obati Covid

Multivitamin
Foto: completecityhealth.com.au
Multivitamin

Oleh : Nora Azizah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pamor vitamin D saat ini memang sedang naik. Vitamin yang berguna bagi kesehatan gigi, tulang, dan peningkat sistem kekebalan tubuh ini memang dikabarkan bisa menangkal Covid-19. Bahkan, perannya disebut cukup besar melawan Covid-19 bagi mereka yang terinfeksi. Benarkah demikian?

Vitamin D disebut-sebut bisa menjadi 'obat' Covid-19 ketika muncul penelitian dari Northwestern University. Para peneliti menemukan adanya hubungan antara infeksi virus Covid-19 dengan kekurangan vitamin D. Dalam studi tertulis bahwa kematian akibat Covid-19 salah satunya disebabkan pasien kekurangan vitamin D.

Hanya saja, para peneliti masih menggaris bawahi penelitian ini. Mereka menyebutkan bahwa masih dibutuhkan studi lebih lanjut terkait infekasi virus Covid-19 antara satu negara dengan lainnya.

Tak hanya dari Northwestern University, penelitan vitamin D dari National Herald India juga sempat jadi perbincangan. Para ahli India melihat bahwa pemberian vitamin kemungkinan berperan sebagai bagian dari pengobatan Covid-19. Namun, vitamin D tidak berperan apabila diberikan sebelum diagnosis.

Penelitian dari India ini juga masih memberikan catatan, yakni pemberian vitamin D hingga dosis 25 mikrogram setiap hari memang bisa memproteksi infeksi akut saluran pernapasan. Akan tetapi, belum ada cukup bukti bahwa vitamin D bisa mencegah Covid-19. Bahkan, kelebihan vitamin D bisa memicu keracunan sebagai efek samping.

Isu vitamin D yang dikaitkan dengan Covid-19 juga banyak ditanggapi para pakar di Indonesia. Profesor Zubairi Djoerban yang kerap memberikan edukasi Covid-19 melalui media sosial juga turut memberikan komentar. Ia mengatakan bahwa memang belum ada cukup bukti vitamin D bisa mencegah seseorang terinfeksi Covid-19.

Zubairi memberikan catatan bahwa hingga saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat tidak merekomendasikan vitamin D sebagai salah satu pengobatan Covid-19. Masih terlalu dini mengaitkan vitamin D dengan Covid-19.

Menurut Zubairi, hasil penelitian belum konsisten sehingga tak bisa dijadikan patokan. Asupan vitamin D penting tetapi tidak untuk mengobati Covid-19.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Prof Dr Zullies Ikawati juga memaparkan penjelasannya terkait vitamin D dan Covid-19. Vitamin D, E, dan C memang sering dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh. Vitamin D menjadi salah satu yang berkorelasi dengan sistem imunitas. Maka tak heran masyarakat memburunya.

Namun, Zullies mengatakan, pada dasarnya kebutuhan vitamin D harian sudah bisa tercukupi dengan makanan sehat yang dikonsumsi setiap hari dan berjemur di bawah sinar matahari pagi. Tak hanya itu, tubuh manusia bisa menghasilkan vitamin D secara alami.

Vitamin D yang dihasilkan tubuh manusia harus dikonversi menjadi vitamin D aktif dengan bantuan sinar matahari. Tak hanya itu, bantuan sinar matahari juga bisa langsung mengubah bahan kimia di kulit menjadi bentuk aktif vitamin (kalsiferol).

Zullies menekankan, konsumsi vitamin D dengan batas 400IU cukup aman. Namun, pemenuhan vitamin D bagi orang yang sehat sudah cukup dari makanan sehat dan berjemur. Sementara bagi mereka yang sakit, batas konsumsi vitamin D sebaiknya disesuaikan dengan saran dokter.

Konsumsi vitamin D dalam dosis tinggi sangat tidak disarankan. Sebab, konsumsi vitamin D tambahan dengan dosis tinggi bisa menimbulkan keracunan pada tubuh.

Vitamin D larut dalam lemak. Apabila berlebihan di dalam tubuh maka sulit mengeliminasinya. Sama halnya dengan vitamin C yang larut di dalam air. Jika terlalu banyak akan dikeluarkan melalui urine, dan bisa terlalu lama terdepoait di dalam tubuh.

Melihat dua penelitian tersebut, kita sebaiknya harus lebih bijak bertindak. Kedua penelitian masih menggaris bawahi studi sehingga dibutuhkan studi lebih lanjut. Sebab, belum ada cukup bukti untuk mengaitkan vitamin D dalam mencegah hingga mengobati Covid-19.

Hendaknya kita juga harus lebih bijak. Tidak semua suplemen harus dikonsumi, bahkan sampai berlebihan. Mungkin kita merasa takut hingga lelah dengan pandemi. Tetapi, tidak harus dengan 'panic buying' dan 'panic eating'. 

Kita juga harus berpikir lebih bijak mengolah informasi terkait Covid-19. Semoga kita bisa melewati ujian pandemi ini dengan lebih banyak bersabar dan bijak dalam bertindak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement