Rabu 30 Jun 2021 01:14 WIB

Jangan Menunggu Sampai Dokter Perawat Kita Kolaps

Kondisinya, rumah sakit saat ini sudah mengalami kelebihan beban.

Sejumlah pasien berada didekat tenda darurat RSUD Chasbullah Abdulmajid Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/6). Puluhan pasien yang dirawat ditenda darurat tersebut belum tentu menderita Covid-19, mereka akan diperiksa lebih dahulu dengan swab PCR sembari dilakukan perawatan. Melonjaknya kasus Covid-19 di Kota Bekasi dalam beberapa hari terakhir mengakibatkan penuhnya tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit tersebut. Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Sejumlah pasien berada didekat tenda darurat RSUD Chasbullah Abdulmajid Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/6). Puluhan pasien yang dirawat ditenda darurat tersebut belum tentu menderita Covid-19, mereka akan diperiksa lebih dahulu dengan swab PCR sembari dilakukan perawatan. Melonjaknya kasus Covid-19 di Kota Bekasi dalam beberapa hari terakhir mengakibatkan penuhnya tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit tersebut. Prayogi/Republika

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Back to square one. Begitu kata teman seorang rekan kerja saya menanggapi situasi Covid-19 yang sedang terjadi di Tanah Air.

Rasanya memang warga Indonesia sedang dikembalikan ke masa setahun lalu, sehabis Lebaran juga, ketika kasus Covid-19 memuncak. Kemudian, tenaga medis kewalahan, rumah sakit penuh, pasien Covid-19 dibawa berputar-putar dengan ambulans mencari ruang perawatan yang kosong, dan penderita positif Covid-19 yang akhirnya meninggal di rumah karena tidak bisa mendapatkan ruang di fasilitas kesehatan.

Baca Juga

Mirip memang. Bedanya sekarang lebih seram, menurut saya. Sejumlah rumah sakit sampai mendirikan tenda-tenda di halaman parkirnya. Pasien dirawat dengan digeletakkan beralaskan selimut di atas aspal depan rumah sakit.

Dan, yang memilukan foto-foto nakes dengan APD lengkap kelelahan bekerja. Tertidur di lantai, mungkin sudah tanpa tenaga entah setelah berapa belas bekerja membantu pasien. Pilu juga rasanya di media sosial melihat foto-foto keluarga pasien Covid-19 di makam. Meratapi pusara orang terkasihnya dalam senyap.

Setahun lalu pasca-Lebaran, saya ingat berada dalam kondisi selalu resah, gelisah, mungkin bisa dibilang mengalami stres. Beradaptasi dengan anak-anak yang bersekolah di rumah, lelah karena berhadapan dengan berita-berita Covid-19 yang memilukan hati buat saya, apalagi ketika itu mulai bermunculan kasus-kasus positif dalam lingkaran kehidupan saya. Entah itu keluarga, teman, lingkungan rumah, lingkungan kantor.

Tapi, kemudian kasus berlalu, kasus menurun, sampai saat Indonesia bertemu lagi dengan libur tiga hari. Setelahnya hidup seakan seperti siklus. Kasusnya naik lagi. Lalu turun lagi. Kemudian pada akhir tahun, kasusnya naik sangat tinggi lagi dan akhirnya mereda memasuki Februari 2021.

Lalu, datanglah Ramadhan. Bagi kami jurnalis, pekerjaan adalah bagian dari mengajak masyarakat dan pemerintah untuk tidak mengulang kesalahan tahun lalu. Saya waktu itu bersyukur karena pemerintah menerapkan larangan mudik, meski yakin kalau larangan tersebut pasti tidak efektif karena ada ‘jendela’ bagi masyarakat untuk tetap bisa mudik dan merayakan Lebaran di kampung halamannya.

Karena itu, sesuai prediksi lonjakan kasus pun terjadi. Yang tidak disangka, varian delta asal India ikut campur dalam lonjakan kasus tahun ini. Mengakibatkan kenaikannya melonjak berkali lipat, menyentuh rekor lagi pada Ahad (27/6) dengan 21.342 kasus positif baru.

Kenaikan kasus dibarengi dengan bertambahnya jumlah kasus aktif. Pada Ahad (27/6), kasus aktif bertambah 12.909, menjadi 207.685 orang. Angka-angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang pandemi Covid-19 melanda negeri ini.

Ekskalasi penambahan kasus Covid-19 di Tanah Air juga terjadi sangat cepat. Terhitung dalam waktu 1,5 bulan, penambahan kasus harian di Indonesia meroket dari kisaran 3.000-an kasus per hari (pertengahan Mei) menjadi 20 ribuan kasus per hari pada data Sabtu dan Ahad ini.

Berdasarkan prediksi Kemenkes, lonjakan pasca-Lebaran masih akan berlanjut hingga Juli. Padahal, saat ini saja sudah ada 207 ribu kasus aktif atau artinya ada 200 ribu orang Indonesia yang belum sembuh dari Covid-19.

Ketua Tim Mitigasi Dokter PB IDI, Dr Moh Adib Khumaidi SpOT, mengatakan kondisi rumah sakit saat ini sudah mengalami kelebihan beban akibat terus berdatangannya pasien yang terinfeksi Covid-19. Ia mengatakan, terjadi penumpukan pasien dan antrean panjang di banyak instalasi gawat darurat (IGD) di rumah sakit di kota-kota besar. Bahkan, banyak pasien yang meninggal saat tiba di IGD.

Adib mengatakan, bed occupation rate (BOR) untuk ruang isolasi dan ICU di atas 90 persen. Setidaknya, lebih dari 24 kabupaten/kota melaporkan keterisian ruang isolasinya di atas 90 persen. Sedangkan, BOR untuk ICU dari berbagai rumah sakit mendekati angka 100 persen.

Kondisi semakin memprihatinkan dengan bertambahnya kasus para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang terkonfirmasi positif Covid-19 sehingga perlu menjalani perawatan atau isolasi mandiri. Dengan demikian, terjadi keterbatasan fasilitas, tenaga, dan SDM untuk melakukan pelayanan.

"Karena itu, perlu ada upaya intervensi yang tidak hanya mengandalkan di hilir. Kondisi sudah mengkhawatirkan. Kalau ini berlanjut, akan menimbulkan dampak luar biasa. Untuk mengurangi arus pasien yang datang ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan, perlu ada upaya tegas intervensi di hulu (pemerintah)," ujarnya menegaskan.

Adib juga menjelaskan bahwa sudah ada varian baru Covid-19 di berbagai kota di Indonesia. Varian baru itu, terutama varian delta, yang memiliki karakteristik yang lebih mudah menyebar, menyerang segala usia tanpa perlu ada komorbid, lebih memperberat gejala, lebih meningkatkan kematian, dan menurunkan efektivitas vaksin.

Ribuan nakes di Tanah Air bahkan tercatat terinfeksi Covid-19 pasca-Lebaran. Kasus kematian nakes saat kondisi sedang genting seperti saat ini juga sudah dilaporkan terjadi.

IDI pun menilai opsi pembatasan sosial berskala besar sudah sepatutnya bisa diberlakukan. Tapi, mungkinkah pemerintah mau mengambil langkah yang lebih ketat lagi dari penebalan PPKM mikro?

Opsi lockdown jelas tidak akan diambil karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk mengarantina sebagian kota dan kabupaten zona merah hingga harus memberi makan warganya yang tidak boleh keluar rumah saat lockdown.

Padahal, dikutip dari laman Gavi atau aliansi vaksin dunia, ketika pengobatan untuk Covid-19 belum ditemukan dan vaksin belum berjalan optimal, menghindari kontak antarmanusia merupakan satu-satunya cara untuk menghentikan laju virus. Pada dasarnya semakin minim seseorang berkontak dengan orang lain, maka semakin sulit virus menyebar.

Pada situasi ketika virus menyebar dengan sangat cepat, social lockdown sangat penting untuk menurunkan laju transmisi. Upaya tersebut tidak bisa sendirian karena harus dibarengi dengan testing dan isolasi bagi kasus positif agar lockdown berjalan efektif.

Semua hal tersebut merupakan upaya untuk ‘flatten the curve’ atau menekan kurva. Dengan demikian, infeksi bisa berkurang dan penyebaran virus bisa ditekan sehingga sistem kesehatan tidak kewalahan dalam bekerja.

Bicara teori memang mudah, ya. Praktiknya tidak akan sesulit itu.

Ancaman PSBB saja sudah pasti menyebabkan banyak rakyat menjerit,

terutama mereka yang mendapatkan penghasilan dengan upah harian. Tanpa bantuan dari pemerintah, sudah pasti kehidupan mereka akan sangat sulit.

Semoga keputusan pemerintah bisa efektif menekan kurva penyebaran virus corona. Jangan sampai pada minggu-minggu setelah Lebaran tahun depan, rakyat Indonesia kembali dihadapkan dengan situasi yang sama. Jangan sampai kita kembali lagi ke posisi square one.

*penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement