Senin 03 May 2021 03:36 WIB

Bergantung Pasokan Impor, Harga Kedelai Rentan Naik

Pengamat menilai butuh jalan panjang agar Indonesia tidak lagi impor kedelai

Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur. Pengamat menilai butuh jalan panjang agar Indonesia tidak lagi impor kedelai
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pekerja membuat tempe di sentra perajin tempe Sanan, Malang, Jawa Timur. Pengamat menilai butuh jalan panjang agar Indonesia tidak lagi impor kedelai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki bulan April 2021, harga kedelai global kembali naik. Disampaikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengutip data Chicago Board of Trade (CBOT) pada 1 April lalu, harga kedelai dunia untuk penyediaan April 2021 berada di kisaran 14,33 dolat AS per gantang. Itu berarti naik di kisaran 3,69 persen dari penyediaan Maret 2021 yang sebesar 13,82 dolar AS per gantang.  

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memang telah memprediksi kenaikan harga kedelai masih bisa terjadi hingga Mei 2021. Tingginya permintaan kedelai dunia menjadi  penyebab utama kenaikan harga.

Beruntung kenaikan harga yang terjadi kemarin ini tak sampai menimbulkan gejolak harga di dalam negeri. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Syailendra pada awal April lalu, pemerintah bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan di industri kedelai berkomitmen menjaga harga kedelai impor di tingkat pengrajin tahu dan tempe di kisaran Rp 9.750-Rp 9.900 per kg. Sementara harga di tingkat gudang importir akan dijaga di kisaran Rp 9.200-Rp9.300 per kg. 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah mengatakan, harga kedelai di pasar domestik dipastikan masih tetap fragile mengikuti perkembangan dinamika di pasar global. “Kita sejauh ini masih tergantung pada pasokan kedelai impor, sehingga wajar saja jika harga di pasar domestik masih akan fragile (terhadap kenaikan harga, red),” ujar Rusli dalam pernyataannya di Jakarta, Ahad (2/5). 

Menurut Rusli, penggunaan  dan konsumsi kedelai hasil impor sejauh ini masih menjadi pilihan karena sejumlah faktor yang mempengaruhi. Salah satunya adalah rendahnya minat para petani untuk mengembangkan kedelai di lahan mereka, lalu perbedaan kualitas kedelai yang diproduksi di Tanah Air dibandingkan kedelai impor untuk dijadikan produk akhir seperti tahu dan tempe.

Rusli sepakat Indonesia harus mengendalikan ketergantungan pada kedelai impor. Sehingga dibutuhkan sejumlah langkah strategis untuk memperluas budi daya kedelai di Tanah Air, dan berikutnya mengurangi tingkat ketergantungan pasar domestik terhadap kedelai impor.

“Namun untuk bisa switching atau beralih dari produk impor ke produk lokal, kita membutuhkan jalan yang panjang. Banyak sekali yang harus dikerjakan pemerintah. Misalnya menyiapkan lahan, membuat petani berminat terhadap komoditas, menciptakan harga yang sesuai,  termasuk persoalan tata niaga. Dibutuhkan waktu tak sebentar untuk mengurainya, dan memulai produksi kedelai lokal secara masif,” kata Rusli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement