Senin 05 Apr 2021 06:20 WIB

Lima Besar Capres: Hasil Survei Vs Hipotesis Realitas 2024

Belum ada nama yang meraih suara responden dominan dalam ragam survei capres 2024.

Ilustrasi Kotak Suara
Foto: dok. Republika
Ilustrasi Kotak Suara

Oleh : Andri Saubani*

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa lembaga survei terkemuka belakangan ini merilis hasil survei mereka terkait elektabilitas nama atau tokoh yang berpeluang bersaing pada Pilpres 2024. Dari tiga survei yakni Indikator Politik, Charta Politika, dan Saiful Mujani Research Center (SMRC) diperoleh kesamaan yakni, lima besar elektabilitas tertinggi diisi oleh lima tokoh yang itu-itu juga.

SMRC menggelar surveinya pada 28 Februari sampai 8 Maret 2021. Lembaga survei ini menggunakan tiga metode, yaitu tren top of mind, semi terbuka, dan tertutup 15 nama. SMRC masih memasukkan nama Joko Widodo (Jokowi) dalam surveinya, dan Jokowi menempati posisi teratas survei. Jika nama Jokowi dikeluarkan dari survei – lantaran dia tidak akan bisa lagi ikut pilpres kecuali terjadi amandemen UUD 1945 – maka hasilnya adalah Prabowo Subianto (20 persen); Anies Baswedan (11,2 persen); Ganjar Pranowo (8,8 persen); Sandiaga Uno (5 persen); dan Ridwan Kamil (4,8 persen).

Menurut SMRC, jika calon presiden (capres) yang disurvei jumlahnya dikerucutkan, komposisi lima besar tidak berubah di mana Prabowo dan Ganjar malah mengalami kenaikan persentase dukungan. SMRC berkesimpulan, hasil surveinya pada Maret 2021 mirip dengan kondisi pada 2011, tiga tahun jelang Pilpres 2014, yakni belum ada nama yang meraih suara secara dominan.

SMRC memberikan ilustrasi, pada tiga tahun menjelang Pilpres 2019, Jokowi saat itu sudah mengantongi suara dukungan responden hingga 30 persen. Namun saat ini, Prabowo yang berada di puncak survei, jika pertanyaan terbuka diajukan kepada responden, Ketua Umum Gerindra yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan itu baru mendapat dukungan spontan sebesar 13,4 persen.

Beralih ke hasil survei Charta Politika. Hasil survei pada Triwulan I 2021 menghasilkan, Prabowo sebagai capres yang mendapat perolehan suara terbanyak sebesar 19,2 persen dari total 1.200 responden. Berurutan setelah Prabowo, yakni Ganjar Pranowo (16 persen); Anies Baswedan (12,6 persen); Sandiaga Uno (9,3 persen); dan Ridwan Kamil (8,1 persen).

Berbeda dengan SMRC, hasil survei Charta Politika juga memunculkan nama-nama di luar lima besar. Mareka yang terjaring survei, yakni Tri Rismaharini (5,3 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (4,8 persen), Mahfud MD (3,8 persen), Erick Thohir (2,1 persen), Moeldoko (1,3 persen), Puan Maharani (1,2 persen), dan Gatot Nurmantyo (0,6 persen).

Adapun, Indikator Politik Indonesia mengambil pendekatan berbeda dalam surveinya. Survei yang digelar pada 4-10 Maret 2021, dilaksanakan terhadap responden anak muda pada rentang 17-21 tahun. Hasilnya berbeda pula. Anies Rasyid Baswedan (15,2 persen), Ganjar Pranowo (13,7 persen), dan Ridwan Kamil atau Kang Emil (10,2 persen) menjadi tiga tokoh teratas yang dipilih anak muda jika pemilihan presiden dilakukan sekarang.

Berikutnya, figur yang dipilih anak muda untuk menjadi presiden adalah Sandiaga Salahuddin Uno (9,8 persen) dan Prabowo Subianto (9,5 persen). Nama selanjutnya ada Agus Harimurti Yudhoyono (4,1 persen), Erick Thohir (1,5 persen), Tito Karnavian (1,2 persen), dan Puan Maharani (1,1 persen).

Selain itu, ada Gatot Nurmantyo, Khofifah Indar Parawansa, Ma'ruf Amin, Budi Gunawan Sadikin, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Mahfud MD, serta Muhaimin Iskandar yang memperoleh angka di bawah satu persen. Sementara, lebih banyak anak muda yang belum memilih nama untuk menjadi presiden yakni 30,5 persen.

Indikator Politik menyimpulkan, tidak ada nama yang dominan berdasarkan hasil surveinya. Responden yang dulu memilih Jokowi, saat ini menyebar, sementara mereka yang dulu mencoblos Prabowo-Sandi pada 2019, sebagian besar kini memilih Anies.

Berdasarkan hasil survei tiga lembaga di atas, bisa disimpulkan bahwa lima nama atau tokoh mendominasi puncak survei. Namun, berbeda dengan survei-survei yang digelar beberapa tahun menjelang Pilpres 2019, saat ini belum ada nama yang meraih dukungan suara responden secara dominan atau mutlak seperti Jokowi.

Mestilah bijak mencermati hasil survei karena realitasnya dalam praktik politik di Indonesia, partai politik (parpol) memiliki kewenangan besar dalam menentukan siapa jagonya yang akan maju dalam pilpres. Anies dan Ridwan Kamil yang notebane bukan ‘orang partai’ saat ini menjadi tidak otomatis memegang tiket pilpres sebelum mereka ‘menjual diri’ kepada partai yang berminat meminang.

Ridwan Kamil atau Emil, setelah tiga hasil survei di atas muncul, pun akhirnya secara terbuka menyatakan dirinya siap menjadi nyapres pada 2024 setelah sebelumnya selalu menolak berkomentar soal kansnya pada Pilpres 2024. Strategi Emil dinilai sebagian pakar tepat, karena sudah saatnya para tokoh dengan elektabilitas signifikan tak lagi ‘malu-malu kucing’ atau bahkan tak memedulikan hasil survei jika memang ingin berkontestasi pada 2024.

Anies juga mestinya demikian. Jika memang dirinya serius ingin menjadi capres, sudah saatnya Anies mengeluarkan pernyataan politik ihwal kesiapan dirinya menyongsong Pilpres 2024 atau setidaknya merespons hasil survei. Apalagi khusus Anies, masa jabatannya akan berakhir pada 2022 dan pilkada serentak baru akan digelar lagi pada 2024. Setelah lengser dari jabatan gubernur DKI Jakarta, Anies praktis ‘nganggur’ dan turun dari panggung politik dan kondisi itu tentunya akan menggerus elektabilitasnya.

Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY menjadi contoh nyata bagaimana pentingnya jabatan politik demi mendongkrak atau sekadar mempertahankan elektabilitas diri. Tanpa jabatan politik, baik di pemerintahan atau parlemen, elektabilitas AHY selama ini bisa dibilang mandek lantaran aktivitasnya jauh dari sorotan media.

AHY baru belakangan kembali menjadi isu utama pemberitaan, tapi semata karena konflik internal partai akibat manuver Moeldoko cs. Anies, setelah lengser dari jabatan gubernur DKI Jakarta pada 2022 bisa senasib seperti AHY, dan malah jangan-jangan bisa lebih tragis, karena Anies tidak punya atau tak berafiliasi dengan parpol seperti AHY.

Kembali ke soal kuasa mutlak parpol dalam menentukan capres berdasarkan aturan main perundang-undangan, menjadi satu-satunya variabel yang bisa menafikan hasil survei menjadi tidak sejalan dengan pilihan nama pasangan capres-cawapres pada 2024 mendatang. Apalagi, ambang batas (threshold) presidensial yang sangat tinggi di Indonesia, mengakibatkan menjadi sedikitnya pilihan atas pasangan capres-cawapres.

Ganjar Pranowo misalnya, meski namaya selalu moncer dalam ragam survei, belum tentu PDIP sebagai partai tempat dia bernaung akan serta merta mengusungnya menjadi capres. Megawati Soekarnoputri sebagai pemegang kekuasaan mutlak di PDIP belum tentu merestui Ganjar karena sudah sejak lama Megawati menyiapkan putrinya, Puan Maharani sebagai penerus trah Soekarno, meski elektabilitas Puan sepertinya sulit untuk dikatrol.

Skenario adanya amandemen UUD 1945 jelang 2024 juga perlu ikut dihitung. Wacana merevisi konstitusi dengan niat awalya memperbarui haluan negara, tapi belakangan terungkap misi terselubung mengubah periode masa jabatan presiden atau bahkan mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR, bisa saja nantinya menjadi kenyataan.

Jika yang terjadi nantinya adalah MPR akhirnya mengamendem UUD 1945 dan merevisi aturan main pemilihan presiden, ragam hasil survei hari-hari ini sudah barang tentu tak relevan lagi. Karena, nama-nama seperti Jokowi atau bahkan mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi punya kesempatan untuk kembali nyapres.

Atau jangan-jangan Pilpres 2024 di Indonesia akan mengikuti tren dunia, di mana politikus senior kalau tidak boleh dibilang tua, masuk lagi ke dalam gelanggang dan sukses meraih kekuasaan. Mahatir Mohamad di Malaysia dan Joe Biden di AS bisa menjadi contoh. Sehingga, bisa jadi, pada Pilpres 2024, atas kuasa mereka di masing-masing parpol, nama-nama seperti Megawati, Jusuf Kalla dan juga SBY justru yang akan kembali berjaya. Wallahualam.

*penulis adalah jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement