Ahad 07 Mar 2021 08:16 WIB

Islamofobia dan Stigmatisasi Radikal kepada Muslim

Stigma radikal kepada Islam dapat merusak sistem demokrasi sosial politik.

Umat Islam selalu dibayangi dengan stigma radikal. Foto: Ilustrasi Muslimah
Foto:

Stigmatisasi Radikal

Istilah “radikal” kerap digunakan dengan konotasi negatif dengan muatan dan tensi politik yang lebih kental daripada makna generik dan sosiologisnya. Kata radikal (sifat) dan radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Secara bahasa, seseorang disebut radikal apabila menginginkan perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. Secara sosiologis, seorang radikal menyukai perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-metode pemerintahan (a radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws and methods of government).

Karena itu, radikalisme dapat dimaknai sebagai paham, sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, yang sama sekali berbeda. Misalnya saja mengganti dasar negara Pancasila dengan ideologi lain. Sikap, pandangan, dan aksi radikal biasanya dibarengi tindakan emosional yang menjurus kepada pemaksaan kehendak, pelanggaran konstitusi, dan aksi kekerasan.  

Radikalisme di kalangan umat beragama di manapun, termasuk di Indonesia, muncul karena adanya proses sosiologis objektif dalam masyarakat dan karena adanya berbagai kesenjangan sosial, terutama ketidakadilan sosial ekonomi. Kaum radikalis yang muncul di kalangan umat beragama manapun bisanya merasa kecewa dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan represif, banyak melakukan penyimpangan, korupsi, dan ketidakadilan dalam penegakan supremasi hukum dan kesejahteraan sosial ekonomi.

Sebagai salah satu corak keberagamaan, radikalisme dan radikalisasi di kalangan umat beragama, merupakan sebuah fenomena keberagamaan yang cenderung parsial dan reduksionis. Corak keberagamaan ini biasanya menonjolkan satu aspek tertentu dari agama yang diyakininya, dengan menafikan aspek lainnya.

Yang paling berbahaya adalah pandangan radikal di kalangan umat beragama bahwa keimanan harus dipegang teguh secara penuh dan harfiah (leterlek), tanpa mengenal kompromi, keluwesan, dan reinterpretasi atau reformasi. Sikap keagamaan demikian dapat menyebabkan pola pikir skriptualistik (tekstual) dengan pemaksaan kehendak, pengafiran (takfiri), ekstremitas, dan kekerasan, bahkan aksi terorisme.

Karena itu, stigmatisasi radikal terhadap tokoh seperti Din Syamsuddin merupakan pelecehan akademik, apalagi dilakukan oleh alumni yang mengatasnamakan ITB. Idealnya, sebelum melabeli radikal, perlu dilakukan rekonsiliasi pemikiran dan debat gagasan, bukan asal melaporkan.

Jika memang tidak setuju dengan keterlibatan Din Syamsuddin dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), GAR Alumni ITB bisa membuka forum diskusi dan debat akademik secara elegan dengan pihak yang akan dituduh radikal. Karena, boleh jadi, perspektif radikalisme yang dipahami masing-masing pihak memang berbeda persepektifnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement