Menyusul dicabutnya lampiran III Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal terkait oleh Presiden Jokowi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan telah menutup sistem perizinan investasi terkait miras. Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM, Yuliot, mengatakan dengan dicabutnya peraturan tersebut, setiap pengajuan perizinan tidak akan bisa diproses.
"Karena ini sudah dicabut, berarti dalam setiap perizinan yang ada di BKPM itu seluruh untuk industri minol ini kita tutup," kata Yuliot dalam diskusi daring yang digelar Angkatan Muda Kabah (AMK) PPP, Rabu (3/3).
Ia menjelaskan, jika sistemnya tidak ditutup, ketika ada orang yang mengajukan sistem, maka perizinan akan bisa terbit dengan sendirinya. Oleh karena itu, Yuliot menjelaskan, untuk mencegah masuknya pengajuan izin investasi, BKPM akan menutup sistem online single submission yang ada di BKPM.
Sementara itu, untuk eksisting industri, jika ada perubahan yang dilakukan dalam izin usahanya, Yuliot memastikan BKPM juga tidak akan mengeluarkan persetujuan tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Ia mencontohkan, jika industri yang ada saat ini ingin mengubah kepemilikan saham, atau mengubah lokasi industri, maka BKPM tetap melakukan koordinasi dengan Kementerian Perindustrian sebagaimana diatur Peraturan Nomor 17 Tahun 2019.
"Jadi, ini sebenarnya saringan-saringan untuk itu sudah dilakukan. Jadi, mudah-mudahan dengan adanya pengaturan di dalam Perpres 10 tahun 2021 ini, nanti bagaimana rumusan perubahannya kami dari BKPM akan ikut mengawal dan juga akan ikut nanti kalau memang ada terkait dengan minol ini bagaimana tidak bebas dilakukan oleh masyarakat," katanya menjelaskan.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatatkan empat provinsi di Indonesia yang memberikan sumbangan cukai dari minuman mengandung etil alkohol (MMEA). Keempat provinsi tersebut meliputi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
Berdasarkan data DJBC Kementerian Keuangan, penerimaan cukai minuman beralkohol dari empat provinsi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat sejak 2016 penerimaan cukai minuman beralkohol di Bali sebesar Rp 469 miliar, pada 2017 sebesar Rp 566 miliar, pada 2018 sebesar Rp 795 miliar, pada 2019 sebesar Rp 916 miliar, pada 2020 sebesar Rp 673 miliar, dan Januari 2021 sebesar 27 miliar.
Direktur Kepabean Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kemenkeu Syarif Hidayat mengatakan tren penerimaan cukai minuman beralkohol mengalami kenaikan setiap tahunnya karena sudah mulai bisa menggantikan miras impor.
“Pada 2020 karena pandemi agak terganggu, seperti di Bali, konsumen miras terbesarnya adalah turis asing. Jadi, turis asing sudah tidak ada, makanya terjadi penurunan produksi yang signifikan,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/3).
Selanjutnya penerimaan cukai minuman beralkohol di Nusa Tenggara Timur pada 2016 sebesar Rp 745 juta, pada 2017 sebesar Rp 370 juta, pada 2018 sebesar Rp 310 juta, pada 2019 sebesar Rp 807 juta, pada 2020 sebesar Rp 667 juta, dan Januari 2021 sebesar Rp 61,38 juta atau turun 90,80 persen dibandingkan posisi akhir 2020.
Secara total penerimaan cukai minuman beralkohol di Bali, NTB, dan NTT (Atambua, Denpasar, Kupang, Mataram, Maumere, Ngurah Rai, dan Sumbawa) pada 2016 sebesar Rp 471 miliar, pada 2017 sebesar Rp 567 miliar, pada 2018 sebesar Rp 795 miliar, pada 2019 sebesar Rp 917 miliar, pada 2020 sebesar 673 miliar, dan Januari 2021 sebesar Rp 27 miliar.
Sementara, penerimaan cukai minuman beralkohol di Sulawesi Utara juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat pada 2016 sebesar Rp 5,67 miliar, pada 2017 sebesar Rp 5,90 miliar, pada 2018 sebesar Rp 12,62 miliar, pada 2019 sebesar Rp 19,8 miliar, pada 2020 sebesar Rp 12,69 miliar, dan pada Januari 2021 sebesar Rp 1,33 miliar.
“Keempat provinsi dari 2016 sampai 2019 menunjukkan kenaikan terus. Namun, pada 2020 keempat provinsi tersebut turun,” ucapnya.