Rabu 11 Nov 2020 16:32 WIB

Pasangan Imigran di Balik Vaksin Covid-19 BioNTech

Hasil uji vaksin Covid-19 BioNtech dilakukan bersama Pfizer diklaim 90 persen efektif

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Kepala Pejabat Medis BioNTech Özlem Türeci bersama suaminya CEO BioNTech Ugur Sahin
Foto: Twitter
Kepala Pejabat Medis BioNTech Özlem Türeci bersama suaminya CEO BioNTech Ugur Sahin

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Vaksin yang diklaim 90 persen berhasil mencegah infeksi Covid-19 dikembangkan oleh pasangan imigran Turki di Jerman Uğur Şahin dan Özlem Türeci. Keduanya keturunan imigran Turki dan besar di Jerman.

Vaksin yang dikembangkan perusahaan yang mereka dirikan, BioNTech diharapkan mencegah penularan virus yang telah menewaskan juta orang dan membawa perekonomian dunia ke dalam krisis. Proses uji coba vaksin yang dikembangkan bersama perusahaan Amerika Serikat (AS) Pfizer telah melewati Tahapan 3.

Baca Juga

Bila terbukti berhasil vaksin Şahin dan Türeci akan melepaskan dunia dari cengkraman pandemi. Selaku CEO BioNTech yang kini bernilai 21,9 miliar dolar AS Şahin menanggapi keberhasilannya dengan rendah hati.

Ia mengatakan keberhasilan uji coba adalah 'kemenangan untuk inovasi, ilmu pengetahuan, dan usaha kolaborasi'. Harapannya dapat dunia 'kembali hidup dengan normal'.

Pada Rabu (11/11), The Guardian melaporkan pernyataan CEO yang datang ke kantor dengan sepeda itu menyiratkan etos kerja, keketatan terhadap norma ilmiah, dan hasrat kewirausahaan mendorong BioNTech bergerak lebih cepat dibandingkan produsen vaksin lainnya. Keberhasilan itu membawa Şahin dan Türeci sebagai keturunan Turki pertama yang masuk 100 orang terkaya di Jerman.

Keturunan Migran Turki

Kedua ilmuwan itu anak dari keturunan imigran Turki yang pindah ke Jerman pada tahun 1960-an. Şahin yang kini berusia 55 tahun lahir di Iskenderun, Mediterania. Ia pindah ke Jerman pada usia empat tahun mengikuti ayahnya yang bekerja di pabrik Ford di Cologne.

Sementara Türeci yang menjabat sebagai chief medical officer BioNTech lahir di Jerman. Perempuan berusia 53 tahun itu lahir di Negara Bagian Niedersachsen. Ayahnya yang lahir di Istanbul bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit Katolik di kota Lastrup.  

Keduanya tumbuh di lingkungan lintas budaya yang dinamis, Türeci menggambarkan dirinya sebagai 'Turki Prusia'. Dalam sebuah wawancara, ia mengungkapkan kekagumannya pada biarawati yang sangat sabar dalam merawat pasien di rumah sakit tempat ayahnya bekerja.

Sementara, Şahin yang gemar dengan sepakbola terinspirasi belajar sains dari buku sains populer yang ia temukan di perpustakaan gereja tempat ia tinggal saat kecil. Setelah meraih gelar dokter dengan tesis pengobatan sel kanker melalui imunoterapi, Şahin melanjutkan PhD di Saarland University, tempat Türeci belajar kedokteran.

Pasangan itu menikah pada 2002, mereka keluar sebentar dari laboratorium untuk mendatangi kantor catatan sipil setempat dan mendaftarkan pernikahan mereka. Putri-putri mereka lahir empat tahun kemudian.

Sejak 2001, Şahin dan Türeci sudah tinggal di Mainz, kota pinggir sungai Rhine yang terkenal dengan budaya karnaval dan rumah penemu mesin cetak Johannes Gutenberg.

Pasangan ilmuwan itu memiliki semangat yang sama. Di rumah sakit universitas Mainz, mereka berencana membentuk laboratorium untuk meneliti sistem kekebalan tubuh yang dapat dilatih untuk menyerang sel-sel kanker. Tapi dana hibah sulit didapat.  

"Kami akhirnya membangun perusahaan kami sendiri," kata Şahin pada situs berita Heise.

Dirikan perusahaan bersama pasangan

Perusahaan pertama mereka didirikan pada 2001, diberi nama Ganymed. "Bukan dari pahlawan tampan dari mitologi Yunani tapi ungkapan bahasa Turki yang secara kasar artinya 'meraih melalui kerja keras'," kata Türeci pada surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung.

Perusahaan yang menjadi pelopor terapi antibodi menyerang sel kanker itu dijual ke perusahaan farmasi Jepang, Astellas sebesar 1,4 miliar poundsterling pada 2016. Lalu pasangan itu mendirikan perusahaan kedua pada 2008 bersama dokter kanker atau onkologis Christoph Huber dari Austria yang hingga kini masih menjadi dewan pengawas BioNTech.

Kini perusahaan itu memiliki sekitar 1.300 pegawai. Pasangan Şahin dan Türeci mengembangkan pengobatan kanker melalui imunoterapi, menggunakan materi genetik yang disebut mRNA untuk melatih tubuh manusia memproduksi antigen sendiri.

Pengalaman bertahun-tahun dengan mRNA berguna untuk mengatasi pandemi. Pada Wall Street Journal, Şahin mengatakan ia pertama kali mengetahui virus corona saat membaca jurnal medis Lancet pada Jumat 24 Januari 2020.

Pada hari Senin (27/1), ia memberitahu anak buahnya BioNTech akan berubah haluan untuk mencari vaksin virus corona. Sejumlah rekannya tidak senang, karena sedang berlibur untuk bermain ski. Tapi ia bersikeras.

BioNTech sudah pernah bekerja sama dengan perusahaan AS Pfizer dalam vaksin flu. Perusahaan itu segera setuju untuk membantu mengembangkan dan berbagi ongkos penelitian dengan BioNTech. Pada bulan Maret lalu ketika Jerman menjalani karantina nasional pertama, BioNTech telah mengembangkan 20 kandidat vaksin.

Lima kandidat vaksin itu menjalani reaksi imunitas dalam program penelitian yang dijalankan oleh 500 ilmuwan. Program tersebut dinamakan Lightspeed.

Kerja keras terbayarkan pada awal bulan November lalu setelah analisa tahap awal menunjukkan kandidat vaksin 90 persen efektif mencegah penularan virus corona. Lebih baik dibandingkan harapan para ilmuwan. Şahin mengatakan ia akan menjadi orang pertama yang mencoba vaksin tersebut.

"Segera setelah vaksin itu diizinkan, saya akan menjadi orang pertama yang akan melakukannya, tapi pertama-tama kami harus pastikan vaksin itu sampai ke tangan orang yang membutuhkan; terutama orang lanjut usia, orang dengan penyakit penyerta, dan staf medis," kata Şahin pada Business Insider Jerman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement