Selasa 22 Sep 2020 10:31 WIB

Pilkada Lanjut, Pemerintah Enggan Terbitkan Perppu

Tito sebut pencegahan kerumunan pada pilkada tidak harus dengan perppu.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Mendagri Tito Karnavian mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020). DPR menyetujui pagu anggaran Kementerian Dalam Negeri untuk tahun 2021 sebesar Rp3,2 triliun dan menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp1,2 triliun untuk dibahas di Badan Anggaran DPR.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Mendagri Tito Karnavian mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020). DPR menyetujui pagu anggaran Kementerian Dalam Negeri untuk tahun 2021 sebesar Rp3,2 triliun dan menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp1,2 triliun untuk dibahas di Badan Anggaran DPR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlaku saat ini hanya mengatur tata cara pemilihan dalam kondisi normal, sehingga dinilai berpotensi menimbulkan kerumunan massa dan risiko penyebaran Covid-19. Namun, pemerintah enggan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada yang mengatur mekanisme pelaksanaan pemilihan di tengah pandemi Covid-19. 

"Untuk mencegah kerumunan tidak harus dengan Perppu," ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI, Senin (21/9).

Baca Juga

Menurut dia, selain ada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19, ada sejumlah peraturan di luar rezim pemilihan yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kerumunan massa. Instansi terkait seperti kepolisian, TNI, Satpol PP, serta Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) dapat dilibatkan dalam penyelenggaraan pilkada tahun ini.

"Juga dengan undang-undang yang banyak sekali termasuk undang-undang lalu lintas, peraturan ketertiban umum," kata Tito.

Ia menuturkan, terkait usulan penerbitan Perppu untuk menambah durasi waktu pemungutan suara imbas penerapan protokol kesehatan, dapat menggunakan cara lain. Penyelenggara dapat menambah jumlah bilik suara dalam satu tempat pemungutan suara (TPS), memperluas TPS, bahkan penambahan TPS itu sendiri.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI Abhan Abhan menyebutkan, pada saat simulasi pemungutan suara, rata-rata satu pemilih menghabiskan waktu empat menit untuk menyelesaikan pencoblosan. Jika empat menit dikali jumlah maksimal pemilih dalam satu TPS 500 orang dengan minimal tiga bilik suara, maka pemungutan suara membutuhkan waktu lebih dari enam jam.

Sementara, UU Pilkada menentukan, pemungutan suara berlangsung mulai pukul 07.00 sampai 13.00. Penambahan waktu juga sebagai upaya menghindari penumpukan pemilih dalam satu waktu.

"Ini saya kira yang nanti seandainya perlu payung hukum Perppu dalam mengatur hal-hal yang sifatnya teknis," kata Abhan.

Selain itu, Bawaslu mengharapkan terdapat regulasi tegas dan sanksi yang jelas terkait pelaksanaan tahapan yang berpotensi melibatkan banyak orang seperti kampanye, pungut hitung, dan sebagainya. Sebab, ada kekosongan hukum dalam UU Pilkada saat ini.

Jika tidak diatur melalui UU, kata Abhan maka KPU juga tentu tidak akan berani menerapkannya di PKPU. Sebab, legalitasnya pasti akan dipertanyakan karena melampaui ketentuan UU Pilkada.

"Tentu kalau ini mau ditempuh untuk menghilangi apa potensi kerumunan masa tentu harus ada payung hukum dan payung hukum yang paling cepat adalah Perppu," tutur Abhan.

Sementara itu, DPR, pemerintah, dan penyelenggara bersepakat tidak menunda Pilkada 2020. Pemungutan suara serentak di 270 daerah akan tetap dijadwalkan pada 9 Desember 2020 mendatang.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement