Rabu 12 Aug 2020 20:36 WIB

Aurat Perempuan, Haruskah Cadar atau Cukup Jilbab?

Penggunaan cadar masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Penggunaan cadar masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Wanita memakai cadar (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Penggunaan cadar masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Wanita memakai cadar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Berbeda dengan laki-laki, dimana batasan aurat telah jelas yaitu dari pusar hingga lutut. Sebaliknya batasan aurat bagi perempuan masih menjadi perbincangan para ulama dan ahli fikih (fuqaha). 

Menurut pakar Alquran, Dr KH Ahsin Sakho Muhammad, terdapat dua pendapat dari para ulama dan fuqaha mengenai aurat perempuan, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. 

Baca Juga

Adapula yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga merupakan aurat yang perlu ditutup. Ulama dan fuqaha yang memiliki pendapat bahwa wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat membawa beberapa dalil sebagai landasan pendapat. 

Salah satunya adalah dalil yang menerangkan dilarangnya perempuan untuk menutup wajahnya saat melaksanakan ihram dan sholat. Meski begitu, Mantan rektor Institut Ilmu Quran (IIQ) Jakarta ini menjelaskan, fuqaha dan ulama tersebut tetap mengakui bahwa istri-istri Rasulullah kerap menutup wajah mereka dengan kain penutup wajah (cadar) saat berpapasan dengan para sahabat Rasul. 

Namun kembali membuka wajahnya ketika melaksanakan sholat. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga tergolong dalam aurat yang wajib ditutupi, kata Ahsin, masih berdasar pada hadits yang hingga kini masih menjadi perdebatan. 

Salah satu hadits tersebut menceritakan tentang seorang perempuan yang menghampiri Rasul dan para sahabat ketika menunaikan ibadah haji. Perempuan tersebut memiliki wajah yang cantik dan kala itu dia tidak menutupi wajahnya dengan cadar. 

Saat itu banyak sahabat yang tidak dapat menjaga pandangan mereka dari wanita cantik tersebut sehingga Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengalihkan pandangan mereka. “Artinya, jikalau Nabi memang mewajibkan perempuan memakai cadar maka mungkin saat itu Nabi akan menyuruh perempuan itu menutup wajahnya, tapi saat itu Nabi hanya menyuruh sahabat untuk menjaga pandangan mereka,” kata Ahsin Sakho saat dihubungi Republika.co.id beberapa waktu lalu.

“Namun demi menghindari fitnah dan maksiat, para ulama dan fuqaha menyarankan wanita untuk menutup bagian tubuhnya, khususnya tempat dipasangnya perhiasan,” lanjut dia. 

Jika mengulas pada asal mula cadar, ahli tafsir ini menjelaskan bahwa cadar telah ada sejak jaman jahiliyah. Salah satu buktinya adalah adanya syair zaman jahiliyah yang berbunyi, “Jika aku bertemu Laila, dia selalu menggunakan burka (penutup wajah), namun pagi ini dia membukanya.” 

Hal ini menunjukkan bahwa cadar telah menjadi budaya warga Arab bahkan sebelum Islam datang. Namun budaya ini tentu tidak dapat dijadikan landasan hukum memakai cadar, dan hingga kini masih menjadi perbincangan ulama dan fuqaha Arab Saudi. 

“Dalam dalil menjelaskan bahwa khimar adalah kain untuk menutup kepala dan sebaiknya dipakai menjulur untuk menutup daerah dada, tapi memang tidak ada keterangan untuk harus menutupi bagian wajah,” jelas dia. 

Terkait perbedaan tentang kehadiran cadar, Ahsin menganggap bahwa cadar bermula pada kebisaan wanita Arab yang menutup wajah mereka untuk melindungi dari pandangan lawan jenis dan cuaca yang ekstrem. 

Sedangkan di Indonesia, lanjut dia, warganya telah terbiasa melihat wajah wanita sehingga bercadar tidak terlalu cocok dengan iklim Indonesia. “Banyak yang mengatakan bahwa cadar itu berasal dari budaya yang masuk menjadi syariat. Tapi budaya yang disyariatkan itu yang menjadi perdebatan para ulama di Arab Saudi, karena dalil yang mendasari itu juga masih jadi pertimbangan,” kata dia. 

photo
Perempuan Bercadar (ilustrasi) - (Independent)

Sementara itu, Sekretaris Jendral MUI Pusat, Anwar Abbas, mengatakan bahwa kedua pendapat tentang batasan aurat perempuan adalah benar. Sebaliknya, melarang wanita untuk bercadar lah yang tidak diperbolehkan. 

Dia menjelaskan, Islam pada dasarnya memberikan kebebasan bagi Muslimah untuk memilih antara menutup wajahnya (bercadar) atau tidak. Dalam pandangan MUI, lanjutnya, problematika cadar pada dasarnya adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) dan khilafiyah memang dibolehkan. “Sekarang bagaimana kita bertasamuh atau bertoleransi, jadi bagaimana orang yang bercadar dan tidak bercadar bersama untuk saling menghormati,” kata Anwar Abbas kepada Republika.co.id. 

Terkait berkembangnya stigma negatif masyarakat tentang wanita bercadar, Bendahara Umum PP Muhammadiyah ini beranggapan bahwa stigma negatif tersebut adalah hal yang mengada-ada. 

Menurut dia, pandangan yang menggeneralisasikan wanita bercadar sebagai teroris atau pelaku radikalisme merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. “Itu namanya generalisasi suatu kelompok, di saat ada satu orang bercadar menjadi teroris maka 2000 orang bercadar itu dianggap teroris juga, padahal kan tidak. Kalau dari kaca sainstifik, itu pengambilan kesimpulan yang menyesatkan,” ujarnya. 

Adapun solusi yang ditawarkan Anwar adalah biasakan untuk menyingkirkan stigma dengan cara membuka diri dan bersosialisasi dengan banyak kalangan. 

Karena, menurut dia, dijatuhkannya seseorang dari lingkungannya dapat disebabkan dari sikapnya yang menutup diri. 

“Ini sebenarnya masalah keterkejutan saja, karena Indonesia itu tidak biasa melihat wanita bercadar makanya timbul keanehan dan ketakutan. Dan ini bisa diatasi dengan pembiasaan diri, sikap saling menerima dan menghargai,” lanjut dia. 

Namun berbeda dengan Ahsin, Anwar mengaku tidak setuju jika cadar digolongkan sebagai bagian dari budaya yang disyariatkan. Sebaliknya dia mengatakan bahwa cadar adalah salah satu dari ajaran Islam yang dijelaskan dengan rinci oleh empat imam (Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’i). 

“Pada dasarnya keempat imam sama-sama menganjurkan wanita untuk menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah dan telapak tangan, namun itu kembali lagi pada pilihan wanita itu sendiri,” kata dia. “Menurut saya orang yang mengatakan kalau cadar adalah budaya arab itu mungkin hanya orang yang sinis saja,” tutup Anwar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement