Selasa 11 Aug 2020 05:31 WIB

Politik Dinasti dan Candu Kekuasaan

Dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.

Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah
Foto: dokumentasi pribadi
Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah

Menjelang pelaksanaan tahapan pencalonan dari partai politik dan/atau gabungan partai politik pada Pilkada Serentak tahun 2020, isu politik dinasti mulai mencuat ke permukaan publik. Salah satunya adalah dengan muncul majunya anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam bursa pencalonan wali kota Solo. Selain Gibran, ada juga menantu Jokowi yakni Bobby Nasution yang kabarnya akan mencalonkan diri di pemilihan wali kota Medan.

Memang tidak ada yang melarang siapa pun untuk turut serta berpartisipasi dalam pilkada, karena yang menentukan kemenangan adalah rakyat, bukan faktor ditunjuk. Sehingga sah-sah saja ketika seseorang mencalonkan diri dalam perhelatan electoral lokal secara aspek legal prosedural.

Namun, tentu saja tidak hanya sekadar itu, ada juga aspek substansial moral yang harus diperhatikan, di mana hal ini terkait bagaimana jabatan publik tidak melulu dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga atau kerabat. Jabatan publik itu memberikan penekanan perlu adanya sirkulasi politik.

Sejatinya pergantian kepemimpinan tersebut tidak dimonopoli. Karena itu, penting kiranya ada aturan hukum yang kuat sebagai upaya membatasi lahirnya kekerabatan atau politik dinasti.

Sebab, tumbuh suburnya wajah kekerabatan politik di tingkat daerah semakin menguat sejak bergulirnya reformasi politik dengan runtuhnya rezim ototarian Orde Baru pada 1998. Hal ini ditandai dengan turun temurunnya perluasan jaringan kekuasaan kalangan keluarga yang menduduki jabatan-jabatan politik.

Padahal, sempat ada aturan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan pejawat. Sayangnya, aturan ini tidak dapat bertahan lama karena regulasi ini sempat dilakukan uji materi terhadap pasal tersebut. Setelah melewati proses peradilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut.

Sebenarnya, transisi demokrasi memang membuka ruang partisipasi yang begitu lebar di kalangan masyarakat dan memberikan peluang untuk merebut posisi/jabatan politik. Sehingga siapa saja yang memiliki keinginan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah, selama yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk memimpin dan memajukan daerahnya itu dipersilakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement