Kekuasaan membentuk undang-undang (UU) ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, diserahkan kepada DPR. Dilibatkannya presiden dalam pembahasan UU untuk mendapatkan tujuan bersama. Padahal, sesungguhnya presiden itu tak perlu menitipkan keinginannya agar tujuannya tercapai sebab eksekutif kekuasaannya adalah menjalankan UU, bukan pembentuk UU.
Boleh saja, presiden atau eksekutif lainnya mengajukan RUU, tapi hasil akhirnya harus di tangan DPR sebagai wakil rakyat. Pandangan ini terkait ketika kita pahami dalam negara demokrasi, kekuasaan tertinggi itu ada di tangan rakyat. Itulah sebabnya, pada tingkat UU, apabila dipandang bertentangan dengan kehendak rakyat, dapat diuji melalui Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, peraturan yang secara hierarkis berada di bawah UU, yang disinyalir bertentangan dengan kehendak rakyat, peraturan itu dapat dibatalkan melalui uji materiil (bagian dari judicial review) di Mahkamah Agung. Uji materiil itu tidak terbatas karena bertentangan secara substitusi dengan peraturan yang ada di atasnya, tetapi juga apabila peraturan itu bertentangan dengan prinsipprinsip kenegaraan atau bertentangan dengan ideologi negara.
Tugas legislatif, yakni menerjemahkan ideologi dan cita-cita ketika negara didirikan. Cita-cita itu dirumuskan sebagai tujuan negara. Sebagai tujuan, ia tak boleh diubah di tengah perjalanan atau di ujung jalan, atau dibelokkan ke kiri atau ke kanan dan membuat tujuan baru.
Peta jalan ini yang pada masa pemerintahan Sukarno dikenal dengan tujuh bahan pokok indoktrinasi untuk mewujudkan sosialisme Indonesia sebagai cita-cita pendiri negara dan pada masa Soeharto dikenal dengan nama GBHN sebagai tujuan jangka panjang.
Pelemahan ideologi Pancasila Sebagai the original paradigmatic values of Indonesia culture and society, Pancasila memuat principle values. Pancasila niscaya dijadikan dasar penyusunan tertib hukum, sebagai landasan filosofis, falsafah negara, sumber dari segala sumber hukum.
Sebagai ideologi negara, cita-cita idealnya da pat mewarnai tata hukum di Indonesia. Akan terlihat warna Pancasila dalam norma hukum konkret pada peraturan perundangundangan.
Maka itu, Pancasila menempati posisi tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Itulah sebabnya, Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai asas pembentukan norma hukum. Bolehkah nilai hukum adat dipakai dalam menyusun norma hukum? Pancasila menyatakan boleh karena nilai itu tersirat dalam Pancasila.
Bolehkah hukum Islam dipakai sebagai asas pembentukan norma hukum? Pancasila menjawab boleh karena hukum Islam itu nilai-nilainya tersirat dalam sila pertama. Karena itu, tak ada alasan untuk membuat UU Haluan Ideologi Pancasila.
Membuat UU Haluan Ideologi Pancasila, sama artinya mengecilkan, untuk tidak dikatakan sebagai pengkhianatan atas kesepakatan luhur rakyat Indonesia terhadap posisi dan keberadaan Pancasila pada posisi tertinggi dalam sistem hukum kita.
Kesadaran teknologis harus diubah menjadi kesadaran ideologis dan masyarakat teknologis digantikan masyarakat sila Pancasila gabungan unsur kultural, struktural, dan transendental yang terangkum dalam nilai asasi (Kuntowijoyo, 2003).
Meminjam term dalam hukum perdata internasional (HPI), Pancasila semacam titik taut yang menentukan, apakah sesuatu itu masuk dalam ranah hukum tertentu. Pancasila sebagai philosofische grondslag akan menyaring semua elemen yang bertentangan dengannya, yang dalam term HPI disebut titik taut primer.
Apakah norma dan perbuatan itu masuk ranah hukum tertentu itu telah memiliki kesesuaian dengan hukum Indonesia? Jika jawabnya ya, hukum itu dapat dipakai dan diterapkan.