Senin 22 Jun 2020 12:42 WIB

Kitab Suci Baru Itu Bernama RUU HIP (#1)

RUU HIP akan menjadi tafsir utama memahami, menghayati, dan mengamalkan Pancasila.

Nasihin Masha
Foto: istimewa/doc pribadi
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha*)

Di tengah sorotan menurunnya kualitas anggota DPR, tiba-tiba lembaga wakil rakyat ini mengajukan rancangan undang-undang yang sangat strategis: RUU haluan ideologi Pancasila. RUU ini adalah RUU inisiatif DPR. Jadi, RUU ini bukan diajukan oleh pemerintah. Aktor utamanya adalah Fraksi PDIP. Sementara itu, ketua panitia kerja RUU ini adalah Rieke Diah Pitaloka, aktris sinetron yang kini menjadi politisi penting di PDIP. RUU ini sudah disetujui oleh fraksi-fraksi lain untuk dibahas, yang selanjutnya menunggu sikap pemerintah karena pembahasan RUU harus dua pihak, yaitu legislatif dan eksekutif. Kemarin, Selasa (16/6), Menko Polhukam Moh Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah “menunda” pembahasan RUU tersebut.

Munculnya RUU ini menjadi sorotan publik. Sikap keras pertama ditunjukkan Muhammadiyah, disusul oleh MUI, dan kemudian NU. Mereka menolak pembahasan RUU tersebut. Sikap keras dan penolakan juga dikemukakan Legiun Veteran RI, seperti disampaikan Saiful Sulun dan Try Sutrisno. Cendekiawan Yudi Latif, yang memiliki pentalogi buku tentang Pancasila, juga mengkritisi RUU ini. Ia telah menulis artikel yang dimuat Media Indonesia. Ia mengkritisi konsep keadilan dalam RUU tersebut. Dalam percakapan pribadi, ia menyebutkan ada 15 sisi yang bisa dikritisi dari RUU ini. Mantan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini menyatakan 80 persen isi RUU ini ngawur.

Sejumlah akademisi dan aktivis LSM juga mengemukakan pendapatnya. Mereka juga mengkritisi RUU ini. Tentu saja ada yang mendukung RUU ini. Namun, suara kritis dan menolak tampak lebih dominan. Untuk memahami wacana tentang RUU ini, ada baiknya kita menelisik RUU tersebut. Apa saja isinya? Apa saja problematikanya? Apa saja yang disorot oleh publik?

 

Isi RUU

RUU ini dibagi dalam 10 bab, 60 pasal, 68 angka/ayat, dan 226 huruf. Selain itu, ada 2 paragraf dan 8 bagian. Untuk memahami RUU ini juga bisa dibaca naskah akademiknya yang berjumlah 97 halaman plus 3 halaman pustaka (ukuran folio/kuarto). Namun, sebetulnya, untuk memahami jalan pikiran dari RUU ini bisa dibaca pada bagian menimbang (ada empat huruf) dan pada Bab I tentang ketentuan umum (ada 10 ayat). Sedangkan, cantolan hukumnya bisa dilihat pada bagian mengingat (7 Tap MPR dan UUD 1945).

Dalam RUU ini, Pancasila menduduki posisi sebagai dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Untuk mencapai tujuan negara itu, diperlukan “kerangka landasan berpikir dan bertindak” dalam bentuk haluan ideologi negara. Haluan ini akan menjadi “pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara” yang berbentuk undang-undang. Jadi, urutannya adalah tujuan negara, haluan ideologi negara, pedoman pembinaannya. Walaupun Pancasila memiliki empat posisi, dalam RUU ini hanya satu posisi yang digunakan, yaitu “ideologi negara”. Hal ini terlihat pada Pasal 1 Ayat 2, Bab Ketentuan Umum. Dari empat posisi Pancasila itu, hanya “ideologi Pancasila” yang dijelaskan dalam bentuk definisi. Ideologi dimaknai sebagai cita-cita dan keyakinan–sebuah definisi leksikal dari banyak definisi tentang ideologi. 

Karena ujungnya adalah pedoman, wujudnya adalah internalisasi dan implementasi ideologi Pancasila. Dalam RUU ini juga ada beberapa frasa kunci yang penting untuk diketahui, yaitu cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan sosial, prinsip kekeluargaan dan gotong royong, serta konsep demokrasi Pancasila yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Pada bagian tentang masyarakat Pancasila terdapat poin bahwa salah satu ciri manusia Pancasila adalah “mengutamakan musyawarah mufakat, dengan semangat kekeluargaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama”. Namun, poin ini justru tak terdapat pada bagian demokrasi politik Pancasila.

Hal yang menjadi kontroversial, selain tak dicantumkannya Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang melarang dan membubarkan PKI serta melarang komunisme, adalah Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3). Pada Ayat (2) tertulis: “Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Ayat (3) berbunyi: “Trisila sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong”. Selanjutnya, RUU itu mengulas tentang pedoman pembangunan nasional di berbagai bidang, pedoman sistem nasional iptek, pedoman tentang kependudukan dan keluarga, serta kelembagaan dan operasional pembinaannya.

Ingat P4

Dalam naskah akademiknya, tiap sila diberi butir-butir nilai dari masing-masing sila dalam Pancasila–butir-butir ini kemudian masuk dalam pasal-pasal di RUU HIP. Hal ini mengingatkan pada 36 butir nilai-nilai P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. P4 lahir berdasarkan Tap MPR No II/MPR/1978. Dari situ lahir BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P4). Badan inilah yang bertugas melakukan internalisasi tentang nilai-nilai Pancasila seperti yang “ditafsirkan” dalam Tap MPR tentang P4 tersebut. Wujud nyata internalisasi tersebut adalah pelaksanaan penataran P4 kepada semua pihak dan hadirnya mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah “tafsir Pancasila” seperti apa yang hendak dijadikan acuan? Jawabannya tentu mudah: tafsir yang ada dalam RUU HIP tersebut. Jadi, RUU ini akan menjadi kitab suci baru dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan Pancasila. Pada masa Orde Baru, Soeharto yang merupakan penguasa tertinggi akan menjadi rujukan utama dalam membaca tafsir tersebut. Misalnya, tentang mufakat bulat atau mufakat lonjong atau tentang makna dikuasai negara dalam konteks BUMN dan kekayaan alam. Apakah dalam RUU HIP ini presiden akan memiliki kedudukan yang sama dengan era Soeharto dalam kuasa menafsir Pancasila? Pada bagian ketentuan umum, terdapat kalimat “Pemerintah pusat adalah presiden RI yang memegang kekuasan pemerintahan negara Republik Indonesia”. Jadi, pemerintah adalah presiden itu sendiri. Pada Pasal 44 Ayat (1) tertulis: “Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan haluan ideologi Pancasila”. Dengan demikian, posisi presiden sangat kuat sebagai rujukan dalam membaca tafsir tentang Pancasila.

RUU ini juga memberi posisi yang sangat kuat pada dewan pengarah lembaga pembinaan ideologi Pancasila, katakan saja lembaga itu adalah BPIP sesuai dengan nama badan yang ada saat ini. Ada 5 pasal dan 16 ayat yang mengatur tentang dewan pengarah. Sedangkan, tentang pelaksana badan hanya ada 1 pasal dan 5 ayat. Jika RUU ini disahkan menjadi UU, pemerintah akan melahirkan aturan turunannya seperti PP dan perpres. Walaupun sifatnya lebih teknis, tentu seperti lazimnya akan memberi tafsir terhadap RUU tafsir ini.

Trauma terhadap penafsiran terhadap Pancasila seperti pada masa Demokrasi Terpimpin maupun pada masa Orde Baru merupakan warna paling menonjol dalam kritisisme terhadap RUU ini. Sejumlah konsep dan warna Pancasila yang dibingkaikan dalam RUU ini sudah dikritisi para pihak yang bermunculan. Tentang kekhawatiran terhadap tafsir Pancasila seperti dalam RUU HIP ini, misalnya dinyatakan Muhammadiyah (berpotensi menyimpang dan melemahkan kedudukan Pancasila), MUI (mendistorsi dan mendegradasi Pancasila), dan NU (mempersempit ruang tafsir dan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu).

Apa saja itu? Kita ikuti tulisan selanjutnya….

Memasukkan Semua Gagasan Sukarno Kacaukan Tafsir Pancasila

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement