Ahad 14 Jun 2020 06:55 WIB

Polemik PPDB di Kota Pendidikan

Konsep sekolah favorit dan non favorit masih menjadi mindset di masyarakat.

Fernan Rahadi
Foto: dokpri
Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fernan Rahadi, Wartawan Republika

Di tengah pandemi Covid-19 tahun ini, mun­cul kabar yang kurang sedap di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sedikit ironis, karena masalah yang mengemuka justru merupa­kan persoalan pendidikan, subjek yang sedemikian melekat bagi Kota Yogyakarta pada khususnya, dan wilayah-wilayah penyangganya di DIY.

Adalah persoalan mengenai kebijakan Peneri­maan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengemuka belakangan ini. Berawal dari diubahnya formulasi PPDB SMA/SMK yang semula mengatur nilai gabungan terdiri dari komponen 80 persen nilai ra­ta-rata rapor siswa, 10 persen nilai rata-rata UN sekolah empat tahun terakhir, dan 10 persen nilai akreditasi sekolah.

Tiba-tiba saja, tanpa adanya sosialisasi lang­sung ke wali murid, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY mengubah formulasi ter­sebut dengan memasukkan komponen nilai Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD. Persen­tase rata-rata nilai SD siswa dalam formulasi itu pun cukup besar, yakni mengeliminir 40 persen dari rata-rata nilai rapor.

Sontak, para wali murid pun kaget. Apalagi da­lam petunjuk teknis (juknis) awal yang telah diso­sia­lisasikan langsung kepada para wali murid per Maret 2020 lalu belum ada komponen USBN SD. Perubahan juknis baru keluar per 5 Mei, hampir berbarengan dengan Pergub DIY tentang PPDB SMA/SMK yang telah direvisi.

Tak lama setelah keluarnya Pergub dan juknis PPDB terbaru tersebut, muncul petisi daring di Change.org yang mempertanyakan masuknya komponen USBN SD. Dalam petisi yang telah ditandatangani lebih dari 600 orang itu para wali murid merasa heran mengapa nilai siswa saat SD menjadi tolak ukur se­leksi masuk ke SMA.

Disdikpora DIY sejauh ini beralasan pe­rubahan pada aturan PPDB SMA/SMK tersebut ter­paksa dilakukan dikarenakan rapor yang digunakan dalam perhitungan tersebut memiliki standar yang berbeda-beda tiap sekolah. Ditambah lagi, tahun ini tidak ada Ujian Nasional (UN), yang biasanya bisa menjadi parameter, akibat dihapus oleh peme­rintah karena pandemi Covid-19.

Disdikpora juga menjadikan Covid-19 sebagai alasan tidak melakukan sosialisasi langsung kepada para wali murid, sekaligus mengklaim telah melakukan sosialisasi ke pihak sekolah dan ke masyarakat melalui berbagai media. Disdikpora bah­kan menyatakan akan membuat ujian sendiri seba­gai standar penilaian untuk PPDB tahun depan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan program Merdeka Belajar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Apalagi pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 dan SE Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur bahwa penerapan PPDB di daerah tak boleh menyimpang dari aturan-aturan tersebut.

Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa aturan PPDB yang dibuat di daerah harus non­dis­kriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan ber­keadilan. Jika daerah yang katanya kota pendidikan justru menyalahi aturan pendidikan yang dibuat pemerintah pusat maka apa kata dunia?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa konsep se­kolah favorit dan non favorit masih menjadi mindset sebagian kalangan masyarakat tertentu di DIY. Karena itu, terdapat pihak-pihak yang kurang senang ketika pemerintah pusat menerapkan sistem zonasi. Alasannya lantaran sistem zonasi yang nondiskriminatif dan berkeadilan akan meratakan mutu sekolah dan pendidikan di Indonesia. Sehing­ga sistem itu akan membuat anak-anak dari kelas sosial bawah hingga menengah bisa mengakses pendidikan yang sama dengan masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi.

Jika tujuan utamanya adalah meningkatkan mu­­tu pendidikan di Indonesia secara merata, ten­tunya konsep favoritisme sekolah harus mulai ditinggal­kan. Apa yang tercermin di DIY pada masalah PPDB kali ini adalah adanya upaya pihak-pihak te­r­tentu untuk mempertahankan konsep usang terse­but.

Terakhir, apa pun kacamata yang dipakai untuk melihat persoalan ini, tentu saja kurang elok jika me­nyalahkan keadaan saat ini, yakni pandemi Co­vid-19, sebagai alasan pembuatan kebijakan yang tidak tepat. Yogyakarta sebagai barometer pendidi­kan di Tanah Air seharusnya menjadi contoh dae­rah-daerah lainnya dalam mengelola persoalan pendidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement