Sabtu 13 Jun 2020 15:14 WIB

Prof Rokhmin Tawarkan Solusi Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan butuh solusi teknikal dan paradigmatik.

Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan tanggul laut dan pemasangan batu pemecah ombak di kawasan pantai Desa Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Ahad (10/3/2019).
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan tanggul laut dan pemasangan batu pemecah ombak di kawasan pantai Desa Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Ahad (10/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup generasi saat ini, tanpa merusak atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan hidupnya.Hal itu ditegaskan dalam  World Commission on Environment and Development (1987).

“Jadi, paradigma pembangunan berkelanjutan yang sudah disepakati oleh seluruh bangsa di dunia sejak KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro ini, bukan berarti kita manusia tidak boleh memanfaatkan hutan, menangkap ikan di laut, membangun kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan berbagai jenis kegiatan pembangunan lainnya.  Kita bahkan dianjurkan untuk melakukan berbagai kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mensejahterakan manusia,  tetapi tidak boleh melampaui batas-batas kemampuan planet bumi kita  (planetary boundaries),” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan  IPB University, Prof Dr Rokhmin Dahuri dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (13/6). 

Dengan perkataan lain, Rokhmin menambahkan, “Pembangunan berkelanjutan dapat terwujud di suatu wilayah (Kabupten, Kota, Propinsi, Negara, atau Dunia), apabila laju pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan mansuia tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) dari wilayah tersebut.”

photo
Rokhmin Dahuri - (Republika)

Menurut Ketua Umum Masyarakt Akuakultur Indonesia (MAI) itu, tantangannya adalah bagaimana Indonesia bisa terus melakukan berbagai kegiatan pembangunan, pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services), dan industrialisasi untuk memajukan bangsa dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, dengan tetap menjaga kualitas dan keberlanjutan (sustainability) dari ekosistem alamnya. “Untuk itu, butuh solusi teknikal dan solusi paradigmatik,” ujarnya.

Terkait solusi teknikal, pada tataran praksis, pertama yang harus dikerjakan adalah implementasi RTRW secara benar dan konsisten.  Dalam RTRW, minimal 30 persen dari total luas suatu wilayah (Kabupaten, Kota, Propinsi, dan Negara) mesti dialokasikan untuk kawasan lindung (protected areas) berupa Ruang Terbuka Hijau, sempadan pantai, sempadan sungai, hutan lindung, kawasan konservasi laut, dan lainnya.

Kemudian, di 70 persen wilayah sisanya kita kembangkan untuk berbagai aktivitas (sektor) pembangunan seperti pemukiman, perkotaan, industri, pertanian, perikanan, pertambangan, pariwsata, dan infrastruktur sesuai dengan kesesuaian lahan.  “Semua kegiatan pembangunan ini harus didahului dengan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan),” tegas pendiri Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Universitry itu.

Kedua, kata Rokhmin, merehabilitasi semua ekosistem alam yang telah rusak melalui reboisasi hutan, gerakan penanaman pohon di lahan-lahan kritis dan terbengkalai, dan penebaran kembali (restocking) berbagai jenis ikan, udang, rajungan, lobster, dan biota lainnya ke wilayah-wilayah perairan yang mengalami overfishing atau kepunahan jenis (species extinction).

Ketiga, pastikan laju pemanfaatan setiap SDA terbarukan (seperti perikanan, hutan, dan biodiversitas) tidak melebihi potensi produksi lestari atau kemampuan pulih (renewable capacity)-nya. “Teknik pemanfaatannya pun harus dikerjakan secara ramah lingkungan dan sosial,” tutur ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN).

Keempat, pemanfaatan (eksploitasi) SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, batubara, mineral, dan bahan tambang) harus dilakukan dengan cara meminimalkan dampak negatipnya terhadap lingkungan alam maupun sosial.  “Selain itu, sebagian keuntungannya mesti dialokasikan untuk pemberdayaan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat sekitar, dan untuk pengembangan material baru sebagai substitusi,” papar koordinator Tim Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2019 – 2024)

Kelima, semua komoditas dari SDA terbarukan maupun SDA tak terbarukan itu harus diproses (hilirisasi) menjadi berbagai produk akhir (final products) secara ramah lingkungan. Mulai sekarang, tidak ada lagi kita mengekspor komoditas mentah.  “Dengan mengembangkan industri hilir ini, kita akan meraup nilai tambah dari SDA, meningkatkan daya saing ekonomi, menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih banyak, permintaan dan harga produk jadi lebih stabil ketimbang komoditas mentahnya,  dan multiplier effects yang luas,” ujar Vice Chairman of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development.

Keenam, bangsa Indonesia  harus bekerja ekstra keras, cerdas, dan ikhlas untuk tidak lagi membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan alam.  “Limbah jenis lain pun, baik berupa limbah padat, cair maupun gas (emisi karbon dan gas rumah kaca lain) harus seminimal mungkin dibuang ke lingkungan alam, agar tidak mengakibatkan pencemaran,” tegasnya.  

Ketujuh, bangsa Indonesia  kita harus menggalakkan program aksi untuk konservasi biodiversity (keanekaragaman hayati), baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. 

photo
Foto pembukaan lahan baru di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) antara Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya, Aceh, Rabu (13/6). - (Antara/Syifa Yulinnas)

Kedelapan, semua kegiatan pembukaan lahan, pembangunan kawasan industri, kawasan pemukiman, perkotaan, konstruksi gedung dan bangunan lain, infrastruktur, dan pengubahan bentang alam (landscape) lainnya, harus dirancang dan dikonstruksi dengan mengikuti struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat (design and construction with nature).  

“Kesembilan, kita harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi secara serius terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya,” papar Honorary Ambassador of Jeju Islands and Busan Metropolitan City, Republic of Korea.

Adapun terkait solusi paradigmatik, kata Rokhmin, pada saat yang sama, Indonesia  mesti mengganti sistem ekonomi kapitalis yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi hawa nafsu dan keserakahan manusia, tanpa menghiraukan kesejahteraan sesama yang masih fakir miskin dan tidak peduli dengan kelestarian lingkungan bumi. “Dengan paradigma ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan (green, blue, and circular economy), yang lebih inklusif dan berkeadilan, dan ramah sosial dan budaya,” ujarnya.  

Perilaku individual bangsa Indonesia pun harus berubah. Dari yang konsumtif, boros, menumpuk harta, dan hedonis menjadi lebih hemat, tidak boros SDA, hidup sederhana, dan bahagia dengan berbagi kelebihan kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan.

“Dengan demikian, dampak negatif dari semua kegiatan pembangunan dan aktivitas kehidupan manusia, berupa limbah, emisi karbon, eksploitasi SDA, modifikasi bentang alam, dan jenis kerusakan lingkungan lainnya tidak melampaui DDL dan kualitas lingkungan alam semesta,” tutur Rokhmin Dahuri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement