Selasa 09 Jun 2020 01:02 WIB

Indonesia Punya Potensi Besar Sumber Daya Krustasea

Sekitar 45% total nilai ekspor perikanan Indonesia berasal dari krustasea.

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024, berbicara pada Webinar Peluang dan Tantangan Pengelolaan Krustasea yang Berkelanjutan Pasca Pandemi Covid-19, Senin (8/6).
Foto: Dok IPB
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024, berbicara pada Webinar Peluang dan Tantangan Pengelolaan Krustasea yang Berkelanjutan Pasca Pandemi Covid-19, Senin (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Indonesia sebagai negara kelautan, memiliki sumber daya krustasea yang tinggi. Sumber daya ini juga menjadi penopang dalam ekspor perikanan Indonesia saat ini.

Prof Rokhmin Dahuri, koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 menjelaskan sekitar 45% total nilai ekspor perikanan Indonesia berasal dari krustasea seperti udang, rajungan, kepiting, dan lobster.  Tidak hanya itu, sekitar dua juta orang atau sekitar 30% pekerja perikanan on-farm bekerja di usaha penangkapan dan budidaya on-farm krustasea.

“Kegiatan bisnis budidaya dan penangkapan krustasea ini mampu menciptakan multiplier effects yang sangat luas. Di samping itu, ternyata demand dan market domestik maupun ekspor produk krustasea ini terus meningkat. Kalau dari sisi kapasitas produksi di Indonesia, ini merupakan the limit is the sky,” papar Prof Rokhmin dalam Webinar Peluang dan Tantangan Pengelolaan Krustasea yang Berkelanjutan Pasca Pandemi Covid-19, Senin (8/6).

Potensi lestari (MSY), lanjut Prof Rokhmin, sumber daya ikan (SDI) laut Indonesia mencapai 12.541.437 ton. Sementara total potensi lestari (MSY) krustasea Indonesia mencapai 430.175 ton per tahun, dengan potensi terbanyak di WPP 712 dan dari jenis udang panaeid. Berdasarkan data pada periode 2014-2018, produksi krustasea Indonesia didominasi komoditas udang (rata-rata 85,7%), disusul rajungan (10,0% dan kepiting (4,0%).

“Meskipun Indonesia punya potensi lahan tambak terluas di dunia dan panjang pantainya ke dua terpanjang, tetapi kita hasil produksi udang budidaya masih kalah dari Equador yang panjang pantainya hanya sekitar 7.000 kilometer, artinya kita masih belum optimal memanfaatkannya,” tambah Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan IPB University dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

photo
Nelayan mengumpulkan rajungan hasil tangkapan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (18/2/2020).  (Foto: Antara/Dedhez Anggara)

i samping itu, kata ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu, volume ekspor udang Indonesia menempati urutan kelima dunia. Terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan yaitu sebagian jenis stok krustasea telah overfishing di beberapa wilayah perairan laut (WPP) dan yang lainnya masih underfishing di sejumlah wilayah, adanya kontroversi pelarangan alat tangkap aktif (fishing gears) yang produktif dan efisien, namun dianggap merusak kelestarian sumber daya krustasea.

Selain itu,  adanya illegal, unvergulated, dan unreproted (IUU) fishing terutama oleh nelayan yang masih cukup marak di wilayah perbatasan, kerusakan ekosistem pesisir, adanya perusakan ekosistem danau, sungai maupun rawa oleh pencemaran maupun konversi ekosistem, global warming dan ocean acidification, serta sistem perikanan tangkap krustasea yang masih tradisional.

“Usaha maupun bisnis perikanan terutama krustasea di Indonesia masih didominasi skala mikro dan kecil.  Ada 98,36% itu skala mikro, sedangkan yang berskala besar hanya 1,64%. Ini perlu diperluas lagi usahanya,” papar Prof Rokhmin.

Untuk itu, perlu adanya manajemen yang lebih baik di sektor perikanan. “Sistem manajemen yang disarankan yaitu perlu adanya pengendalian pada sisi input yang meliputi penetapan jumlah kapal ikan yang beroperasi, kapasitas penangkapan dari kapal ikan serta intensitas penangkapan; pengendalian pada sisi output seperti pembatasan kuota yang diperbolehkan untuk menangkap, escapement controls; pengendalian teknologi penangkapan ikan; pengelolaan berbasis ekosistem dan pendekatan ekonomi secara tidak langsung,” papar Rokhmin.

photo
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Dr Ir Luky Adrianto.  (Foto: Dok IPB University)

Sementara itu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Dr Ir Luky Adrianto menjelaskan upaya peningkatan produksi krustasea di Indonesia dapat dilakukan melalui pendekatan social-ecological system (SES). “Kalau kita bicara fisheries, berarti kita bicara learning ecosystem sampai ecosystem welfare. Itu yang harus menjadi platform, jadi perikanan itu tidak hanya sekadar ideologi saja, atau ekologi saja, atau hanya sosial saja, tetapi mencakup semua itu sehingga bisa tercapai tools sustainability,” papar Dr Luky.

Sistem SES, lanjut Dr Luky, merupakan sistem ekologi yang di dalamnya terdapat sistem sosial dan biasanya hubungannya adalah antara services, intervesion management. Oleh karena itu, SES mencakup ekologi sistem dan sosial sistem sehingga ada keterkaitan antara environmental research dengan social research.

“SES perikanan krustasea yang paling memungkinkan dikembangkan adalah komoditas panaeid fisheris WPP 711. Ini merupakan WPP yang paling direkomendasikan untuk dikembangkan dan nilainya besar sekali, ini disusul oleh lobster dan memiliki banyak peluang untuk dikembangkan,” pungkas Dr Luky.

Dr Ali Mashar, dosen FPIK IPB University menjelaskan biodiversitas krustasea Indonesia tidak hanya berasal dari air laut saja, melainkan juga berasal dari air tawar. "Ada sekitar 369 spesies krustasea air tawar yang berhasil ditemukan dan diidentifikasi. Spesies tersebut terdiri dari 120 spesies kepiting air tawar, 111 spesies kepiting magrove, 122 spesies udang air tawar, 16 spesies lobster air tawar. Menariknya lagi, ternyata kita punya 38 spesies krustasea endemik yang di antaranya terdiri dari genus Caridina," papar Ali. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement