Sabtu 22 Feb 2020 05:36 WIB

Merayakan 70 Tahun Hubungan Diplomatik RI-Rusia

Hubungan diplomatik kedua negara pertama kali terjalin pada 3 Februari 1950.

Keakraban Presiden pertama RI, Sukarno dan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev
Foto: IST
Keakraban Presiden pertama RI, Sukarno dan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH: Fauzi Bustami*

Pada 3 Februari 1950, Kementerian Luar Negeri Uni Soviet menerima kawat dari Kemenlu RI yang berisi persetujuan dibukanya hubungan diplomatik kedua negara. Kawat tersebut menjawab surat Menteri Luar Negeri Uni Soviet A. Vyshinki yang ditujukan kepada Perdana Menteri/Menlu RI Muhammad Hatta tanggal 25 Januari 1950 yang berisi pengakuan Uni Soviet (US) atas kemerdekaan Indonesia dan keinginan US membuka hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia. Tanggal tersebut kemudian disepakati sebagai awal dimulainya secara resmi hubungan diplomatik kedua negara. Uni Soviet merupakan salah satu negara pertama yang memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia, paska pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949.

Pada 2020 ini, Indonesia dan Rusia (penerus Uni Soviet sejak akhir 1991) akan merayakan 70 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Berbagai perhelatan sedang dan telah disiapkan oleh kedua kedutaan besar di masing-masing ibu kota. Kedua Kepala Negara juga diharapkan dapat segera melakukan pertemuan guna mendeklarasikan Kemitraan Strategis yang akan memberi jalan bagi terwujudnya era baru penguatan hubungan keduanya.

Indonesia-Rusia pernah menikmati hubungan yang erat, yang sering  disebut sebagai “Golden Era” yaitu pada akhir 1950-an hingga paruh pertama 1960-an. Mungkin banyak masyarakat Indonesia yang tidak lagi mengingat bahwa Rusia memiliki peran penting dalam perjuangan Indonesia merebut Irian Barat dari penjajah Belanda. Rusia merupakan salah satu negara yang secara konsisten mendukung Indonesia dalam forum-forum internasional bahkan jauh sebelum terjalinnya hubungan diplomatik keduanya. Intervensi Rusia di sidang-sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsasejak 1946, misalnya, membantu mengangkat isu agresi militer Belanda dan Irian Barat menjadi perhatian masyarakat internasional.

Dukungan persenjataan Uni Soviet juga memberikan modal bagi TNI kita sehingga menjadi lebih percaya diri dalam melakukan konfrontasi dengan Belanda yang masih bercokol di Irian Barat. Dalam Memoire-nya, mantan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev mengatakan bahwa dirinya segera menyetujui permintaan bantuan senjata dari Soekarno dalam upaya Indonesia merebut Irian Barat. Krushchev menyebut bahwa Uni Soviet menjual ke Indonesia beberapa kapal selam, kapal perusak, kapal torpedo serta cutter armed with cruise missiles (Memoires of Nikita Krushchev, 2004).

Pada era tersebut, Angkatan Laut kita memperoleh dari Uni Soviet Kapal Selam Sverdlovs class light cruiser, beberapa Whiskey Classdan Riga Class. Dengan bantuan Rusia, kekuatan laut Indonesia berkembang dari hanya 43 kapal pada 1958 menjadi 103 kapal perang dan 49 auxiliaries (termasukcruiser, 12 kapal selam dan 16 kapal perusak/frigates) di tahun 1965. (Alexey Muraviev and Colin Brown. Strategic Realignment or Déjà vu? Russia-Indonesia Defence Cooperation in the 21st Century (2008).

Mantan Menteri Angkatan Laut/ Komandan KKO–AL RI Era  1960-an, Ali Sadikin mengatakan bahwa dengan bantuan Uni Soviet, pada akhir tahun 1964-an Angkatan Laut RI menjadi yang terkuat di Asia, setelah AL Cina (Ali Sadikin, 2000). Tekanan Uni Soviet, termasuk dalam konteks rivalitasnya dengan Amerika Serikat Era Perang Dingin, juga  membantu memberikan pressure terhadap Belanda dan berkontribusi bagi penyelesaian konflik Irian Barat.

Sayangnya, paska Kudeta gagal Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965, yang sebenarnya tidak ada kaitan secara langsung dengan Uni Soviet, hubungan kedua negara menurun. Kebijakan Rezim Orde Baru yang melarang berkembangnya paham serta apa pun yang berbau komunis serta citra buruk Rezim Komunis Uni Soviet berperan dalam menjauhkan Indonesia dari negara tirai besi tersebut. Saat ini tidak mudah untuk memperoleh tulisan atau catatan mengenai perkembangan hubungan kedua bangsa pada Golden Era tersebut.

Revitalisasi hubungan kedua negara sebenarnya telah dimulai menjelang berakhirnya Era Orde Baru. Upaya tersebut kemudian mendapatkan momentum dengan dengan ditandatanganinya Declaration of the Republic of Indonesia and the Russian Federation on the Framework of Friendly and Partnership Relations antara Presiden Megawati dengan Presiden Putin tahun 2003. Sejak itu, hubungan bilateral keduanya terus menunjukkan peningkatan. Hubungan Indonesia-Rusia kembali memperoleh dorongan pada pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Vladimir Putin di Sochi tahun 2016, yang berhasil meletakkan dasar bagi penguatan kerja sama di berbagai bidang.

Kini, Indonesia dan Rusia telah memiliki platform kerja sama di berbagai bidang, politik, keamanan,  pertahanan, keamanan siber, hak asasi manusia, ekonomi, sosial dan budaya. Baik berupa Forum Konsultasi bidang Keamanan antara Menko Polhukam RI dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia; Sidang Komisi Bersama antara Menko Perekonomian RI dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rusia; Konsultasi Bilateral antara kedua Menteri Luar Negeri, dan seterusnya.

Upaya untuk lebih mendorong pengenalan potensi ekonomi, investasi, perdagangan dan sosial budaya kedua negara juga terus dilakukan Kedutaan Besar RI di Moskow. Selama empat tahun terakhir, misalnya, KBRI menyelenggarakan Festival Indonesia, yang merupakan promosi terpadu Trade, Tourism and Investment (TTI).

Festival tersebut, yang pada tahun 2019  mengambil tema “Visit Wonderful Indonesia: Enjoy Our Tropical Paradise” berhasil menarik minat lebih dari 117.669 untuk menghadirinya. Salah satu hasil nyata dari keberadaan Festival tersebut antara lain pada people-to-people contact. Jumlah wisatawan Rusia yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2019  lebih dari 170.000 melonjak hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2016, sebelum diselenggarakannya FI, yang hanya 60.000 orang. Hal sama juga terjadi pada kunjungan wisman Indonesia ke Rusia.

Namun demikian, sebenarnya,tingkat hubungan dan kerja sama Indonesia – Rusia saat ini masih jauh di banding potensi yang dimiliki masing-masing. Tahun 2018, volume perdagangan keduanya 2,58 milyar dolar AS. Sebagai anggota G-20 dengan GDP di atas satu triliun, kedua negara memiliki potensi ekonomi dan perdagangan yang besar. Keduanya juga memiliki keunggulan komparatif yang saling melengkapi dan tidak saling bersaing.

Indonesia membutuhkan minyak, gas,  gandum serta teknologi nuklir dari Rusia. Sementara Rusia membutuhkan berbagai komoditi unggulan Indonesia seperti minyak sawit, teh, kopi, karet, furniture. Rusia juga memiliki keunggulan di bidang teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista), yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia dalam upaya diversifikasi sumber tradisional alutsistanya.

Pada 2020 ini, 70 tahun pascaterjalinnya hubungan diplomatik, Indonesia dan Rusia sepakat untukmeningkatkan hubungan dan kerja samanya kepada Kemitraan Strategis, tingkatan tertinggi dari hubungan bilateral di antara negara-negara. Diharapkan, komitmen tersebut dapat dideklarasikan oleh kedua Kepala Negara pada tahunini. Kesepakatan tersebut diyakini akan lebih mendorong penguatan kerja sama di berbagai bidang, politik, ekonomi, perdagangan, pertahanan, sosial budaya serta people-to-people contact.

Namun demikian, diperlukan upaya dan komitmen kuat bersama untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi guna terwujudnya Kemitraan Strategis tersebut. Perlu upaya lebih keras agar kedua bangsa bisa lebih mengenal potensi satu sama lain. Banyak masyarakat Indonesia  yang masih menyimpan image bahwa Rusia tidak lain adalah Uni Soviet, yang komunis, otoritarian, anti-tuhan dan anti Islam. Tidaksedikit pula masyarakat Rusia yang belum mengenal Indonesia, meskipun mereka memimpikan untuk berkunjung ke Bali.

Kedua negara dituntut menunjukkan keseriusannya dalam  merealisasikan komitmen-komitmen yang telah dibuat, termasuk dalam hal ini realisasi dari proyek-proyek kerjasama dan investasi besar yang telah disepakati, seperti kerja sama Pertamina -Rosneft untuk membangun kilang minyak di Tuban serta realisasi pembelian 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 yang telah disepakati beberapa waktu yang lalu. Kunjungan Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Prabowo ke Moskow dan kesepakatan yang dicapai pada pertemuannyadengan Menhan Rusia pada 27 Januari 2020 lalu mudah-mudahan merupakan pertanda baik bagi penguatan kerja sama kedua negara ke depan.

*) Alumni Program Master dari National Research University Higher School of Economics (HSE), Russia. Saat ini sedang bertugas di Moskow.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement