Ahad 05 Jan 2020 11:18 WIB

Membandingkan Anies, Ahok, dan Jokowi Soal Banjir DKI

Pemimpin itu digaji tinggi bukan untuk dipuji, tapi dikritisi.

Ahok, Anies, Jokowi
Foto: tangkapan layar
Ahok, Anies, Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

"Pemimpin itu digaji tinggi bukan untuk dipuji, tapi dikritisi"

Salah satu film yang sedang menjadi buah bibir adalah The Two Popes. Film yang diproduksi Netflix ini mengisahkan pemimpin umat Katolik pada dua periode terakhir ini, yakni Paus Benediktus dan Paus Fransiskus.

Pada tulisan ini, saya tidak ingin spoiler terlalu jauh. Saya hanya ingin mengambil sari utama dari film tersebut. Film itu menggambarkan bagaimana perbedaan pola pikir, karakter, pandangan, serta 'kubu politik' bukanlah suatu harga mati. Selama dua manusia memperjuangkan nilai dan tujuan yang sama, maka nilai dan tujuan tersebut kelak yang akan menyatukan mereka. Ini seperti kisah nyata kedua Paus yang diabadikan dalam film The Two Popes.

Saya kira konteks yang sama berlaku dalam bernegara. Perbedaan pandangan dan pilihan politik sejatinya bukanlah hal yang mesti disikapi secara berlebihan. Toh, selama nilai-nilai yang diperjuangkan sama, yakni nilai kebaikan, perbedaan tersebut hanya sekadar kosmetik semata. Karena secara substansi, yang diperjuangkan adalah nilai prinsip. Sedangkan pemimpin hanya sekadar media untuk mewujudkan nilai-nilai prinsipil.

Saat ini, kita sedang disajikan pertunjukan bertajuk negara suporter dan cheerleader. Dukungan sangat nyaring dan hanya sekadar tertuju pada orang per orang. Bukan dukungan yang berdasarkan nilai prinsip yang diperjuangkan oleh si pimpinan.

Pemimpin yang dipuja sekalipun melakukan tindakan yang melanggar etika atau nilai-nilai prinsipil, tetap akan dibela. Walhasil, dukung mendukung dilakukan dengan logika buta.

Sayangnya, hal ini berlaku di Indonesia. Perbedaan politik bukan sekadar kosmetik, melainkan menjadi subtansi politik. Rasanya sukar mendapati partai atau pendukung politik yang menjadikan nilai prinsipil sebagai alasan utama dalam menyokong pemimpin pilihannya. Yang dipegang hanya sekadar kepentingan dan fanatisme buta pada figur yang dipuja.

Selama yang memimpin itu satu kubu politik atau tokoh pujaan, maka apapun perbuatannya selalu sempurna. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah tokoh yang bukan satu kubu, maka apapun yang dilakukan adalah salah. Nilai dan prinsip menjadi hal yang relatif. Kita harus bisa menerima secara legawa bahwa fatsun berpolitik seperti itulah yang sedang melanda negeri kita tercinta.

Alasan mendukung karena nilai kebaikan universal seperti anti korupsi, kebebasan, dan penegakan hak asasi manusia, adalah sebuah omong kosong. Kalau memang di negeri ini dua kubu pendukung sama-sama mengusung semangat antikorupsi, maka saat ada usaha pelemahan KPK kedua kubu yang berbeda itu semestinya bersatu. Namun faktanya, semangat antikorupsi itu omong kosong saja.  

Fenomena fanatisme buta juga bisa kita bisa cermati dalam melihat respons masyarakat soal banjir di Jabodetabek. Ada dua kubu yang saling berseberangan yang kini saling caci di media sosial. Pendukung sang gubernur, Anies Baswedan versus pendukung eks gubernur yang kini Presiden, Jokowi, serta Ahok yang kalah pada Pilkada 2017 lalu.

Argumentasi kedua pendukung itu sama-sama melenceng dari nalar dan akal sehat. Anies yang kini menjadi gubernur terlihat lebih banyak berkata-kata ketimbang tindakan nyata.

Jujur, saya terganggu mendengar beberapa ucapan Anies yang nirmakna tentang banjir. Mulai berdebat tentang penyebab, ucapan tentang anak-anak yang senang dengan banjir, dan polemik drainase vertikal versus horizontal. Saat ini, Anies lebih baik bekerja dengan mulut tertutup.

photo
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah) meninjau titik banjir yang bersebelahan dengan proyek LRT di Underpass Cawang, Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Kritik dan serangan yang mampir kepada dirinya merupakan sebuah konsekuensi dari jabatan. Pejabat mulai dari level terbawah, Gubernur, hingga presiden itu memang digaji tinggi untuk dikritisi. Bukan untuk dipuji. Sebab satu kritik lebih membangun bagi seorang pemimpin ketimbang sejuta sanjung puja.

Sebaliknya, para pendukung Ahok atau Jokowi mungkin lupa bahwa apa yang terjadi di zaman gubernur terdahulu tidak lebih baik. Kita tentu masih mengingat bagaimana bundaran HI tenggelam di era kepemimpinan Ahok. Berbeda dengan Anies, Ahok punya backup modal yang jauh lebih besar untuk memoles citranya di media terkait penanganan banjir.

photo
Jokowi-Ahok saat mendaftar sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta.

Sebagai gambaran, ini sejumlah fakta perbandingan penanganan banjir di era Anies, Ahok, dan Jokowi yang sama-sama buruk. Data BPBD DKI menunjukkan fakta bahwa di era Jokowi menjabat pada Januari 2013, banjir merendam 35 Kecamatan di DKI dengan rincian jumlah pengungsi sebanyak 85.930 dan korban jiwa mencapai 19 orang.

Masih di era gubernur Jokowi, banjir kembali terjadi dengan eskalasi yang semakin parah. Pada Januari-Februari 2014, banjir merendam 37 kecamatan dengan jumlah korban jiwa mencapai 23 orang dan pengungsi mencapai 62.819 jiwa. 

Di era Ahok menjabat, banjir semakin melebar dengan merendam 38 kecamatan pada Februari 2015. Jumlah pengungsi pun semakin tinggi dengan total 231.566 jiwa dengan korban jiwa mencapai lima orang.

Di tahun 2016, banjir kembali menghantam 25 kecamatan dengan jumlah pengungsi 70.218 jiwa. Pada tahun ini, banjir mencatat rekor baru tentang kedalaman tertinggi yang mencapai nyaris empat meter.

photo
Mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat mengunjungi korban banjir Kelurahan Cipinang Melayu Jakarta Timur.

Sedangkan banjir di DKI pada awal Januari 2020 sejauh ini mencatat data sembilan korban jiwa dengan jumlah pengungsi mencapai 397.171 orang (data Jabodetabek). Data nasional BNPB juga mencatat di DKI terdapat 63 titik banjir pada 2020. Namun catatan tersendiri, bahwa curah hujan yang terjadi pada banjir 2020 ini merupakan yang terparah dalam sejarah.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) menyebutkan, curah hujan yang terjadi di Jabodetabek pada awal tahun 2020 merupakan yang tertinggi selama ada pencatatan curah hujan sejak 1866 silam.

Segala data di atas sudah cukup menggambarkan fakta bahwa deretan pejabat gubernur DKI tidak ada yang sukses dalam menangani banjir. Jadi aksi saling klaim pendukung gubernur kini dan terdahulu tak ubahnya sekadar lelucon.

Di sisi lain, pemerintah pusat jangan pula ikut bersilat lidah. Sebab banjir yang terjadi di berbagai provinsi juga merupakan tanggungjawab mutlak pemerintah. Pemerintah agaknya harus lebih sering masuk gorong-gorong saat banjir, bukan hanya saat pemilu sudah dekat.

photo
Jokowi saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saat itu ia sedang meninjau tanggul yang jebol di Banjir Kanal Barat.

Ada pun itu, kini banjir sudah lanjur terjadi. Korban sudah berjatuhan. Aparat dan pendukung politik lebih baik diam dan ikut berkontribusi dalam menangani banjir. Sebab faktanya, baik Anies, Ahok, maupun Jokowi sama-sama gagal dalam penanganan banjir di Jakarta.

Bersilat lidah menuding siapa yang salah menjadi pembuktian bahwa nalar dan akal sehat telah ikut hanyut bersama banjir fanatisme buta. Walhasil, saat tak ada yang berani mengakui kesalahan soal banjir, ada baiknya kita meresapi kata-kata Paus Fransiskus dalam penggalan film the Two Popes. "When no one is to blame, everyone is to blame."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement