Selasa 05 Nov 2019 10:24 WIB

Radikalisme: Dulu Sarung Kini Cadar dan Celana Cingkrang

Radikalisme: Dulu Sarung Kini Cadar dan Celana Cingkrang

Ilustrasi Bercadar
Foto: Foto : MgRol100
Ilustrasi Bercadar

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Waspadalah kepada kaum sarungan!’’ Ungkapan ini diteriakan salah satu elite PNI Jawa Tengah pada dekade awal 1960-an. Bagi orang yang sudah melek politik saat itu pasti akan tahu apa maksud ujaran itu.

Dan memang benar saat itu udara politik kekuasaan sangat panas. Dekrit Presiden 1959 beberapa tahun sebelumnya sudah diputuskan. Namun, dekrit ini tetap memancing Islamphobia yang sudah muncul sejak zaman kolonial: di mana Islam politik harus diberangus dan membiarkan Islam hanya sebagai sarana ibadah saja. Ini pun semakin masuk akal karena dekrit itu secara tegas menyatakan bila  Piagam Jakarta masih menjadi acuan atau semangat dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945 itu.

Suasana ini jelas makin ruwet. Tak berapa lama Partai Masyumi sebagai partai terbesar kedua dalam Pemilu 1955 menemui ajal. Dia ditamatkan oleh keputusan Presiden Soekarno meski sempat sebelumnya bertemu para petingginya makan-makan dan ngobrol di Istana Negara. Tak hanya Masyumi, partai lain yang kritis kepada kekuasaan, seperti Partai Sosialis Indonesia dengan tokohnya Sutan Syahrir, pun ikut dibubarkan pula.

Alhasil, kini presiden terkesan berkuasa mutlak.  Dia begitu bebas mengangkat siapa yang jadi pejabat dan menggantinya sesuai selera. Tanpa sadar muncul kesan politik ‘belah bambu’. Semua harus mengacu pada Nasakom. Siapa yang enggan —bahkan tak sepakat— diangap kontrarevolusi, budak barat dengan jargon: Amerika kita setrika Inggris kita linggis. Yang anti 'Nasakom' dianggap pula sebagai si-kepala batu yang harus disingkirkan. Sosialisme pasti jaya.

Dan jargon atau pomeo ‘waspada kepada kaum sarungan’ itu menggelak ke mana-mana. Siapa yang ditujunya? Saat itu semua paham yang disasar adalah kekuatan Islam politik, terutama para kader dan aktivis Masyumi yang baru dibubarkan. Mereka dituduh terus saja akan bergerilya agar bisa kembali ke Piagam Jakarta yang di sana ada frase ‘melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Tak hanya itu mereka juga dituduh sebagai pelanjut gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirya yang dahulu teman kost Soekarno ketika tinggal di rumah HOS Cokroaminoto di sebuah rumah di bilangan Jalan Paneleh, Surabaya.

Kemudian selain Hersubeno siapa lagi yang paling getol menyerukan waspada kepada kaum sarungan? Jawabnya ada. Dia adalah Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Pada masa itu, di depan acara hari ulang tahun PKI yang dihadiri ribuan massa yang memadati Stadion Gelora Senayan (sekarang gelora Bung Karno) Aidit dengan gagah menyerukan kembali pameo itu kepada kadernya. Dia mengatakankembali soal itu untuk menyindir kadernya bila tidak mampu membubarkan HMI yang dianggap seteru paling berbahaya organisasi sayap kaum mudanya: Pemuda Rakyat.

’’Lebih baik kalian pulang ganti pakai baju perempuan dan pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sangup !?,’’ kata Aidit ketika berpidato saat itu

Dan memang saat itu diam-diam antara Aidit dan Bung Karno terjadi perseketuan politik yang ganjil.  Meski keduanya beda paham, terlihat  saling memanfaatkan keadaan, yakni demi kelanggengan kekuasaan serta tujuan politik lainnya. Aidit pun sangat paham itu,  Bung Karno juga paham akan itu. Ini persis dengan jargon abadi politik: ‘Tak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Yang abadi hanya kepentingan!’

Adanya seruan waspada kepada kaum sarungan umat Islam pun siaga. Dari cerita para senior aktivis dan ketua umum PB HMI seperti Sulastomo dan Ridwan Saidi, mereka mengatakan saat itu memang melawan akan kecenderungan tuduhan pejoratif itu. Istilah katanya: mereka merapatkan barisan atas munculnya ‘udara politik kekuasaan’ yang tak kondusif. Mereka tahu jelas kepada siapa dan arah dari seruan ‘waspada terhadap  kaum sarungan’.

Nah, bersamaan dengan semaki populernya jargon itu tiba-tiba muncul semacam radikalisasi. Di mana-mana muncul konflik. Tak hanya perang kata malah mulai muncul kekerasan mulai dari perebutan tanah dan lahan kebun tebu hingga percekcokan politik. Tokoh Masyumi Buya Hamka, Mr Moh Roem, dan lainnya masuk bui tanpa pengadilan. Dan ujung dari konflik ini adalah mencapai puncak dalam tragedi berdarah pemberontakan G30S/PKI. Masa rakyat saling bunuh.

Ketika zaman sudah berlalu, di dekade tahun 1980-an juga keluar pomeo yang ‘serupa meski tak sama’. Sebagai imbas revolusi Islam Iran pada tahun 1979 di masyarakat muncul gairah ke Islam yang kencang. Tak hanya berbagai pengajian yang muncul,  Muslimah perempuan getol memakai jilbab.

Celakanya, kegairahan ber-Islam dengan berjilbab di pandang negatif oleh kekuasaan. Maka muncul berbagai tindakan pejoratif —bahkan persekusi— kepada mereka yang berjilbab.  Kasus pelajar putri yang dikeluarkan dari sekolah mulai muncul. Muncul kisah ‘aneh-aneh’ yang tersebar misalnya kisah jilbab beracun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement