Selasa 22 Oct 2019 11:36 WIB

Lini Masa Menjawab Prabowo Jadi Menhan

Prabowo diberi tempat yang sesuai dengan passion-nya yakni mengurusi pertahanan.

Prabowo Subianto dan Joko Widodo
Foto: Republika
Prabowo Subianto dan Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Purnama Putra, Wartawan Republika

Mengejutkan! Kalimat itu pantas menggambarkan terpilihnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan (menhan). Memang belum secara resmi menjadi menhan karena Prabowo harus dilantik dahulu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama menteri lainnya di Istana Kepresidenan pada Rabu (23/10). Namun, 99 persen posisi menhan pasti diduduki Prabowo.

Uniknya, dibandingkan calon lainnya yang dipanggil Jokowi, hanya Prabowo yang secara terus terang diberi tahu Jokowi untuk menduduki menhan. "Saya diizinkan untuk menyampaikan, saya membantu beliau di bidang pertahanan," kata mantan panglima Kostrad dan komandan jenderal Kopassus itu didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo, seusai bertemu Jokowi.

Hubungan Prabowo dan Jokowi memang pasang surut. Prabowo-lah orang yang membawa Jokowi untuk maju sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilkada DKI 2012. Prabowo pula yang ikut mengantarkan pasangan Jokowi-Ahok ke KPU pada malam terakhir pendaftaran. Prabowo saat itu harus melobi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meyakinkan bisa menerima pasangan Jokowi-Ahok untuk melawan pejawat Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Prabowo harus merayu PDIP yang kala itu sudah memiliki calon tersendiri, yaitu Adang Ruchiatna.

Singkat kata, pasangan Jokowi-Ahok diusung Gerindra-PDIP menjungkalkan Foke-Nachrowi. Kedua sosok itu pun akhirnya berkibar selama menjadi DKI 1 dan 2, berkat sorotan media. Kemesraan Prabowo dan Jokowi mulai retak menjelang akhir 2013, ketika desas-desus PDIP akan mengusung calon sendiri di Pilpres 2014. Pada medio Maret 2014, Megawati akhirnya memutuskan Jokowi sebagai calon presiden (capres) PDIP untuk melawan Prabowo. Setelah Jokowi menggandeng Jusuf Kalla dan Prabowo menggaet Hatta Rajasa, pertarungan Pilpres 2014 berlangsung panas dan penuh drama.

Dalam posisi itu, Prabowo memang jelas merasa dikhianati PDIP dan Jokowi. Pada 2009, ketika Megawati-Prabowo berpasangan melawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, dibuat kesepakatan Perjanjian Batutulis. Isinya, PDIP siap membantu Prabowo di Pilpres 2014. Namun, sebagaimana falsafah dalam politik 'tak ada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi' membuat PDIP mengusung Jokowi yang saat itu berstatus the rising star untuk melawan Prabowo, sosok yang mengorbitkannya di pentas perpolitikan nasional.

Setelah Prabowo diundang ke Istana Kepresidenan, dan Jokowi bertandang ke Hambalang, hubungan keduanya kembali naik turun. Apalagi saat Pilkada DKI 2017, Prabowo yang mengusung Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno memenangkan pertarungan melawan pejawat Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, yang memiliki kedekatan dengan Jokowi. Momen pilkada itu disebut-sebut paling keras sepanjang sejarah pencoblosan karena diwarnai aksi penistaan agama oleh Basuki, yang kemudian dipenjara, lantaran desakan massa Aksi 212 yang mengklaim diikuti jutaan orang turun ke Monas.

Baik Prabowo dan Jokowi kembali sempet bertemu saat perhelatan final cabang pencak silat Asian Games di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada Agustus 2018. Momen berpelukan Prabowo dan Jokowi yang terekam video, menunjukkan rasa haru luar biasa bagi yang menontonnya. Kedua sosok itu terlihat saling bersahabat, meski pernah bertarung keras di Pilpres 2014. Megawati yang hadir di samping kedua orang itu juga tersenyum melihat keakraban kedua sahabat sekaligus rival tersebut.

Fase selanjutnya, hubungan kedua memanas lagi saat harus berhadap-hadapan untuk kedua kalinya di Pilpres 2019. Namun, sesuai prediksi beberapa pengamat, hasilnya mudah ditebak. Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin kembali mempecundangi Prabowo yang menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno.

Ketika hasil hitung cepat mengunggulkan Jokowi, Prabowo terlihat tidak menerima kekalahan. Dia malah mendeklarasikan kemenangan hingga membuat situasi menjadi genting. Pun di arus bawah, polarisasi pendukung 01 dan 02 masih terus terjadi hingga demo di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei lalu, yang memakan korban jiwa. Pertemuan keduanya untuk mendinginkan suasana tak kunjung terwujud.

Barulah pada 13 Juli lalu, berkat lobi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) Budi Gunawan, Jokowi bisa bertemu Prabowo, dan keduanya berbincang selama perjalanan naik MRT dari Stasiun Lebak Bulus menuju Stasiun Senayan. Momen kedekatan itu terus dijaga hingga akhirnya Prabowo mau menerima tawaran Jokowi untuk menjadi bagian kabinet periode 2019-2024.

Tentu saja, ada momen di balik layar yang membuat Jokowi juga berkenan menggandeng Prabowo. Hal itu tak lain tidak bukan berkat faktor kedekatan Megawati dengan Prabowo. Lewat lobi nasi goreng, kedua sosok ketua umum partai itu bisa kembali menjalin silaturahim yang sempat renggang.

Megawati juga tentu teringat dengan idealisme Prabowo yang sama-sama berada di luar kabinet ketika SBY-Boediono memerintah pada 2009-2014. Sepertinya, Megawati masih terkesan dengan sikap Prabowo yang memilih berada di luar kekuasaan, dengan menolak tawaran menteri yang diajukan Presiden SBY untuk kader Partai Gerindra. Karena itu, Megawati lewat orang kepercayaannya, Budi Gunawan diutus untuk memecah kebuntuan komunikasi antara Jokowi dan Prabowo, yang misi itu berjalan sukses.

Sebelumnya, pemerintah berkali-kali mencoba mengirim utusan, termasuk lewat Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, namun tak pernah terwujud. Tetapi, ketika Budi Gunawan yang turun tangan, lantaran diutus secara resmi oleh Megawati, akhirnya Prabowo luluh, dan bersedia bertemu dengan Jokowi.

Kini, Prabowo akan menjadi pelayan Jokowi. Dia diberi tempat yang sesuai dengan passion-nya, yaitu menteri yang mengurusi pertahanan dan TNI. Bukan tidak mungkin, kolaborasi Jokowi dan Prabowo akan menghasilkan capaian cemerlang, atau bisa jadi malah sebaliknya. Tentu hambatan psikologis harus dihilangkan di antara kedua tokoh itu agar program pemerintah bisa berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

Pemilihan Prabowo

Penulis memiliki analisis sendiri mengapa Jokowi, mau menempatkan Prabowo di posisi menhan. Bisa jadi, Jokowi atau Megawati ingin menyingkirkan peran pensiunan jenderal lainnya yang selama ini seolah berperan sebagai sosok yang terlihat memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan presiden. Bahkan, orang itu kerap mengurusi tupoksi kementerian lain yang dianggap bukan kewenangannya.

Sangat mungkin, Jokowi atau Megawati merasa gerah dengan kenyataan itu. Maka pada periode ini, Prabowo dipilih agar Jokowi bisa lebih leluasa dalam memerintah dan tidak berada dalam bayang-bayang sosok tertentu.

Namun, ada handicap yang dimiliki Prabowo, yaitu ia sepertinya masih masuk dalam daftar hitam Pemerintah Negeri Paman Sam. Dia bersama beberapa jenderal lain disangkakan terlibat pelanggaran HAM saat masih aktif berdinas di kemiliteran. Tentu masalah itu akan menjadi hambatan bagi Prabowo yang mau tidak mau pasti harus berkunjung ke Amerika Serikat (AS) demi menjalin diplomasi pertahanan. Jangan sampai kasus Wakil Menhan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin yang visa ditolak AS saat mengikuti Presiden SBY dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh, AS, medio September 2009, dialami Prabowo.

Meski begitu, Prabowo memiliki latar belakang pernah menempuh pendidikan Special Forces Officer Course di Fort Benning, AS pada 1985. Di situ pula, Prabowo bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II yang kini menjadi kawan akrabnya. Usai menyatakan berhenti sebagai komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI pada 1998, Prabowo memilih mengungsi ke Yordania untuk sementara waktu, ditemani Edhy Prabowo, karena mendapat jaminan Raja Abdullah.

Dengan keunggulan jaringan militer yang dimiliki Prabowo, setidaknya kebuntuan TNI dalam membeli alutsista terbaru bisa diatasi. Kelemahan Menhan Ryamizard Ryacudu yang tak kunjung berhasil mendatangkan jet tempur generasi 4,5 sebagai proyek paling mentereng TNI, harus segera diatasi.

Prabowo bisa menggunakan koneksinya untuk mempercepat lobi pembelian Sukhoi Su-35 atau F-16 Viper yang disebut-sebut memiliki teknologi terkini untuk memperkuat pertahanan udara NKRI. Tentu saja masih banyak persoalan lain yang harus diatasinya di Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI, namun dengan profilnya yang tak diragukan lagi, diharapkan satu per satu masalah itu dapat dituntaskan.

Semoga saja, Prabowo bisa menjawab kepercayaan yang diberikan Jokowi. Karena sepertinya media akan terus menyorotinya selama menjabat menhan. Karena itu, ia harus hati-hati dalam mebuat kebijakan agar tidak sampai menimbulkan kontroversi di masyarakat yang malah dapat merugikan pribadinya, termasuk pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement