Kamis 19 Sep 2019 17:01 WIB

Pembebasan Bersyarat Napi Korupsi Agar tak Ada Diskriminasi

Pembebasan bersyarat napi kejahatan luar biasa dalam revisi UU Pemasyarakatan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, perubahan aturan pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti kasus korupsi untuk mencegah diskriminasi dan memberikan hak yang sama. Pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini termasuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

Arsul menjelaskan, jika terpidana telah memenuhi ketentuan dan melunasi kewajiban selama masa hukumannya maka ia juga berhak mendapatkan hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Namun selama ini, ada persoalan dalam pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat tersebut.

Baca Juga

Persoalan tersebut, ia menjelaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mudah memberikan rekomendasi bagi narapidana kasus korupsi, sedangkan Polri atau kejaksaan mudah memberikan rekomendasi bagi narapidana yang proses hukumnya melalui dua lembaga tersebut. Akibatnya, ia mengatakan, ada diskriminasi antara terpidana kasus korupsi dan kasus kejahatan luar biasa lainnya.

"Ini tidak boleh terjadi padahal si terpidana sudah sama-sama memenuhi kewajibannya," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9).

Sebelumnya, revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam Pasal 43B, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) wajib meminta rekomendasi aparat penegak hukum sebagai pertimbangan remisi atau pembebasan bersyarat.

Dengan demikian, Arsul menjelaskan, PP Nomor 99 Tahun 2012 ini mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum, di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama ini, PP tersebut dianggap memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.

Mengacu pada sistem peradilan pidana terpadu, ia mengatakan, putusan hakim menjadi pertimbangan remisi atau pembebasan bersyarat. Dengan demikian, aparat penegak hukum tidak dapat mencampuri kewenangan pengadilan.

Artinya, kewenangan memberikan hak pembebasan bersyarat bagi terpidana berada di tangan hakim dan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. "Jadi di dalam UU Pemasyarakatan itu dikatakan bahwa narapidana itu berhak mendapatkan hak-haknya kecuali haknya itu dicabut oleh hakim melalui putusan pengadilan," ujar Arsul.

Sementara itu, Arsul menegaskan, justice collaborator tetap ada, yang diputuskan berdasarkan hakim yang mengadili. "JC diumumkan hakim, logikanya kalau dia seorang JC, hakim dalam putusannya tidak akan cabut. Kalau dia pelaku utama tidak dapat status JC kan mungkin saja," ujar Arsul.

DPR dan pemerintah akan segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Kedua pihak menyepakati merevisi aturan soal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa. Salah satunya adalah korupsi.

Dalam rancangan UU Pemasyarakatan, DPR dan pemerintah sepakat meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Diketahui dalam PP itu bahwa salah syarat pemberian remisi pembebasan bersyarat untuk napi kasus korupsi adalah rekomendasi penegak hukum (KPK).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement