Selasa 03 Sep 2019 13:17 WIB

Quo Vadis Perang Yaman?

Perang Yaman dimulai pada Maret 2015

Salah satu sudut kota di Yaman yang hancur akibat perang.
Foto: Reuters
Sslah satu sudut kota di Yaman, usai perang.

Kedudukan penting dalam struktur kaum Zaidi adalah imam, yang merupakan kedudukan keagamaan sekaligus politik. Pandangan-pandangannya tentang masalah keyakinan, moral, organisasi sosial, keadilan, dan banyak lagi aspek perangai mendominasi kehidupan warga Yaman utara. Fakta-fakta ini menciptakan determinasi Houthi melawan pihak selatan.

Rintangan lain yang dihadapi koalisi dalam menaklukkan lawannya adalah perselisihan UEA dan kubu Hadi yang mengasingkan diri di Saudi. Ketidakkompakan koalisi mulai muncul saat UEA memarahi Hadi yang pada Januari 2018, memecat Gubernur Aden Mayor Jenderal Aidarous al-Zubaidi dan Perdana Menteri Khaled Mahfoud Bahah. Keduanya loyalis UEA.

Hadi kesal karena UEA menekannya agar mengangkat loyalis UEA menduduki posisi strategis di tubuh militer dan keamanan. Selain itu, UEA mendorong separatisme Yaman. Zubaidi lalu membentuk dan memimpin STC, menolak menyerahkan Bandara Internasional Aden kepada Hadi.

Zubaidi dipromosikan UEA dengan memberikannya uang dan pasukan di tengah klaim bahwa UEA ingin mendapatkan kendali atas Pulau Socotra yang strategis di Samudra Hindia dan pelabuhan Aden. Klaim itu bukan isapan jempol.

Toh, UEA mengakui telah melakukan operasi militer di Socotra yang terkenal dengan flora dan faunanya. Malah muncul laporan, UEA telah menyewa Socotra selama 99 tahun bersama dengan Pulau Abd al-Kuri.

Di luar itu, UEA telah menghabiskan 3 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur di selatan dan mengeluarkan beberapa miliar dolar lagi untuk mempersenjatai STC. Ini menunjukkan UEA sedang memperluas pijakannya di negara itu.

Kepentingan UEA juga menyangkut keamanan Selat Bab el-Mandeb. Saudi ketinggalan dalam soal ini karena enggan mengirim pasukan darat ke Yaman sehingga prospek kemenangan atas milisi Houthi nyaris mustahil.

Malah, belakangan ini Houthi semakin gencar menyerang kota-kota Saudi dengan rudal dan pesawat nirawak. Melihat tekanan internasional yang terus meningkat dan UEA kecewa dengan rencana Saudi di Yaman, membuat UEA mengambil prakarsa sendiri.

Saudi tak sejalan dengan UEA karena menganggap setiap pembicaraan tentang pemisahan Yaman akan mendelegitimasi upaya perang. Perselisihan Saudi-UEA meruncing karena UEA tak mau Partai Islah milik Ikhwanul Muslimin yang mendukung Hadi berada di lingkaran kekuasaan.

Perselisihan Saudi-UEA juga terkait ditolaknya pesawat pengangkut mata uang Yaman yang dicetak di Rusia oleh UEA. Kedua kerajaan memiliki pengaruh di wilayah berbeda di Yaman.

Saudi mengontrol wilayah perbatasan, UEA mengendalikan wilayah selatan dan Aden. Bank Sentral Yaman (BSY), yang loyal pada Saudi, menuduh UEA menghambat masuknya mata uang Yaman dari Rusia ke kantor BSY di Aden sehingga ekonomi Yaman tercekik.

AS pun berubah pikiran. Pada akhir Desember 2017, AS menyatakan perang bukan solusi untuk menyelesaikan masalah.

Houthi diminta menghentikan serangan rudal ke wilayah Saudi sebagai syarat memulai perundingan damai. Dengan semua perkembangan ini, apakah kudeta STC terhadap pemerintahan Hadi dilihat Saudi sebagai momentum bagi diakhirinya perang Yaman?

Apakah Yaman akan terbelah dua kembali? Bisa jadi. Toh STC yang kini menguasai Aden hendak memisahkan diri dari Yaman utara dan perang telah kehilangan legalitas dan legitimasinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement