Jumat 09 Aug 2019 17:55 WIB

Idul Kurban Memerdekakan Diri dari Karakter Buruk Binatang

Idul kurban momentum menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah

Dalam menyembelih hewan, Islam mengajarkan proses penyembelihan berlangsung dengan cepat dan tidak menyakitkan.
Foto: Republika/Aditya
Dalam menyembelih hewan, Islam mengajarkan proses penyembelihan berlangsung dengan cepat dan tidak menyakitkan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

Ibadah dalam setiap agama selalu memiliki dimensi ganda, vertikal dan horizontal. Shalat dan puasa, misalnya, bukan sekadar pendekatan diri kepada Allah SWT, melainkan juga pendekatan diri dengan sesama, bahkan dengan alam semesta. Beribadah juga tidak sekadar menggugurkan kewajiban, berhenti pada tataran legal formal atau memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi juga harus membuahkan kesalehan sosial, akhlak mulia, dan integritas moral.

Idul Fitri dan Idul Adha merupakan manifestasi integrasi ibadah vertikal dan horizontal.

Ritualitas shalat dengan menghadap kiblat merupakan ibadah vertikal, pelaksanaannya secara berjamaah, penyembelihan hewan kurban, dan pembagian dagingnya kepada yang berhak merupakan ibadah sosial horizontal.

Kedua dimensi ibadah ini harus bermuara kepada ketakwaan sosial, keteladanan moral, dan kedermawanan sosial. Mengapa Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk mengurbankan putranya, Ismail, bukan menyembelih hewan kurban? Mengapa perintah penyembelihan Ismail melalui mimpi itu dilakukan di Mina. Padahal ketika itu Ibrahim sedang 'menikmati' fase perkembangan putranya yang mulai sanggup bekerja bersamanya?

Mengapa Ibrahim mengajak berdialog dan berdiskusi dengan Ismail tentang perintah Allah untuk 'menyembelihnya' sebagai kurban? Mengapa pula Ismail begitu tegar dan sabar dalam menerima ujian iman, padahal dia akan menjadi 'korban' penyembelihan oleh ayahnya sendiri?

Mengapa 'drama penyembelihan Ismail' berlangsung sangat 'melelahkan' sehingga harus berpindah tempat sampai tiga kali dan Ibrahim harus melempari setan berkali-kali? Jawaban terhadap pertanyaan itu sangat menarik jika dilihat dari perspektif teologi pembebasan berbasis tauhid melalui kisahnya yang penuh keteladanan heroik dan autentik dalam Alquran (QS ash-Shaffat [37]: 100-111).

Merayakan kemerdekaan

Sedemikian agung dan mulia perjuangan Nabi Ibrahim dalam membangun kembali Ka’bah sebagai kiblat dan poros tauhid, juga dalam meneladankan ibadah kurban sehingga syariat kurban itu dilanjutkan dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sekaligus, dinapaktilasi dengan ritual pelontaran jumrah oleh jamaah haji pada tiga tugu jamarat di Mina. Tidak hanya itu, setiap kali shalat, umat Islam selalu diingatkan pembacaan doa shalawat dan keberkahan kepada beliau dan keluarganya sebagai apresiasi dan rekognisi terhadap kontribusi agungnya dalam memurnikan tauhid.

Karena itu, Shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban idealnya bukan sekadar ritual tahunan biasa. Melainkan juga harus menjadi orientasi pendekatan diri yang terintegrasi antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan, pemerdekaan hati dari segala sifat kebinatangan, dan pemerdekaan pikiran dari segala bentuk penjajahan.

Dengan kata lain, Idul Kurban dan penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu strategi Ilahi dalam mencerdaskan, mencerahkan, dan membebaskan umat manusia dari segala tirani penjajahan hati dan pikiran. Termasuk penjajahan dalam berbagai aspeknya oleh manusia terhadap sesamanya atau oleh suatu bangsa kepada bangsa lain.

Idul Fitri dan Idul Kurban memiliki korelasi sangat erat. Jika Idul Fitri merupakan simbol kemenangan atas perjuangan melawan hawa nafsu selama berpuasa Ramadhan, Idul Kurban merupakan manifestasi perjuangan melawan setan yang mendisorientasi ketulusan cinta kepada Allah SWT dalam mendedikasikan pengorbanannya.

Idul Fitri dan Idul Kurban memiliki pesan kemerdekaan yang saling menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Idul Fitri adalah merayakan kemerdekaan atas kemenangan dan kesuksesan dalam berpuasa totalitas, puasa lahir batin. Sedangkan merayakan Idul Kurban adalah merayakan kemerdekaan hati dan pikiran dari karakter buruk binatang: serakah, kikir, amarah, dengan menumbuhkan etos peduli, berbagi, berempati, dan bermurah hati kepada sesama, khususnya fakir miskin.

Kedua perayaan hari besar tersebut berisi pesan pembebasan dan penyucian diri. Shalat Id merupakan manifestasi rasa syukur dan panggilan ketaatan kepada Allah, sedangkan berkurban merupakan panggilan cinta Ilahi, keikhlasan tanpa batas.

Melalui ibadah kurban, Ibrahim sukses mengaktualisasikan ketulusan cintanya dengan pasrah dan tanpa ragu mempersembahkan kurban terbaiknya, yaitu anak yang sangat dicintainya.

Cinta Allah harus dibuktikan dengan memerdekakan pekurban dari segala bentuk godaan duniawi dan materi, termasuk anak sendiri. Karena semua yang 'dimiliki dan dinikmati' manusia, termasuk diri sendiri, sejatinya adalah milik Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement