Sabtu 13 Jul 2019 10:27 WIB

Pemilihan Rektor: Antara Marwah Kampus dan Politik Pragmatis

Pemilihan rektor yang sayup-sayup terdengar sangat politis dan bau amis kertas rupiah

Ubedilah Badrun
Foto: istimewa
Ubedilah Badrun

Dalam dua tahun ini sejumlah universitas mengadakan pemilihan rektor. Juli hingga September 2019 ini ada dua Universitas menonjol di Ibu Kota yang akan menyelenggarakan pemilihan Rektor untuk periode 2019-2023, yaitu Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Awalnya UI melalui media sosialnya lebih gencar mempublikasikan perhelatan sirkulasi kekuasaan kampus itu dibanding UNJ. Menyusul kemudian UNJ mulai bergeliat.

Publik sebagai penyumbang terbesar pembiayaan kampus negeri berhak untuk tahu apa yang sesungguhnya terjadi di institusi yang melahirkan generasi pewaris masa depan bangsa ini. Sebab keterbukaan universitas adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip akuntabilitas perguruan tinggi.

Pudarnya Marwah Universitas

Marwah universitas merupakan hal substansial yang seringkali diperhatikan publik. Sebab, universitas hakekatnya adalah miniatur peradaban yang dipandang publik sebagai harapan.

Sebagai miniatur peradaban di dalamnya memuat prasyarat tumbuh suburnya diskursus epistemik di kalangan civitas akademika, baik dikalangan dosen maupun mahasiswanya. Diskursus epistemik, perdebatan epistemologi yang tumbuh subur di universitas pada giliranya akan menumbuhkan suatu perilaku kultural di universitas yang disebut scientifict attitude (perilaku ilmuwan). Pada tahapan ini akan melekat pada civitas akademika semacam watak objektivitas, watak kejujuran akademik, etika akademik, kesetaraan dan kemerdekaan akademik.

Mengajar, meneliti dan memberikan pengabdian kepada masyarakat tidak boleh keluar dari jalur scientifict attitude itu. Inilah yang kemudian membentuk marwah universitas, harga diri universitas, kehormatan universitas.

Sebab sejak kehadirannya, universitas telah mengikatkan diri secara moral untuk memegang teguh nilai-nilai dan prinsip fundamental universitas, terutama otonomi institusi dan kebebasan akademik. Prinsip fundamental itu telah lama disepakati dunia di Universitas Bologna dalam Konferensi Rektor pada 1988. Dokumen ini ditandatangani lebih dari 800-an wakil universitas dari 85 negara (http://www.magna-charta.org/, diakses Juli 2019).

Marwah universitas hakekatnya adalah kualitas komitmen universitas pada kualitas universitas yang memegang teguh prinsip-prinsip fundamental universitas, otonomi dan kebebasan akademik (academic freedom). Dalam konteks inilah UI maupun UNJ perlu diingatkan untuk secara lebih serius memegang teguh prinsip fundamental itu di tengah hiruk pikuk proses pemilihan rektor yang sayup-sayup terdengar sangat politis dan bau amis kertas rupiah. 

Politik Pragmatis Elite Kampus

Sejak era reformasi, perubahan tata kelola universitas negeri di Indonesia terus dilakukan. Perhatian pada penegakan hukum juga terus ditegakan, tak tanggung-tanggung upaya itu berbuah. Tidak sedikit elite kampus kemudian masuk jeruji besi penjara karena kasus korupsi, sesuatu yang selama 50 tahun lebih tak pernah disentuh oleh hukum karena marwah kampus yang terjaga, tak terkecuali elite kampus UI dan UNJ. 

Sekitar tujuh tahun lalu lebih, dua kampus tersebut pernah terjerat kasus. Elite kampusnya pernah mendekam di penjara, bahkan kemudian dua tahun lalu ada juga yang diberhentikan di tengah jalan dari jabatannya sebagai elite kampus. 

Fenomena terjeratnya elite kampus dalam perkara korupsi kemudian terjadi di hampir semua kampus. Kepercayaan publik pada integritas orang kampus perlahan tapi pasti mulai memudar. Meski pada sebagian akademisi kampus mulai kembali merawat marwahnya dengan menjaga prinsip fundamental universitas.

Apa yang menyebabkan elit kampus terjerat kasus yang merusak marwah universitas? Selain faktor rendahnya integritas personal elite kampus, juga ada faktor politik yang menyeret-nyeret kampus dalam perselingkuhan politik pragmatis yang dibungkus rapi dengan sering berteriak kampus harus netral dari kepentingan politik tetapi senyatanya berpolitik.

Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) semestinya dijabat orang kampus, tetapi power sharing kementrian membuat kementrian ini menjadi kavling partai politik, jatah partai politik tertentu. Sehingga menristekdikti meski berasal dari kampus, tidak mungkin menjadi menteri tanpa rekomendasi partai politik. Pola ini yang menyebabkan proses sirkulasi jabatan di lingkungan kementrian ini sarat dengan nuansa politik dan cenderung transaksional.

Pola ini pula yang menyebabkan elite kampus terjebak dan bahkan menikmati politik pragmatis kekuasaan. Efek paling menyedihkan dari pola tersebut adalah mulai tumbuhnya semacam pola jual beli jabatan di jabatan elite institusi yang seharusnya terhormat karena memiliki prinsip fundamental, memiliki marwah. Universitas menjadi kehilangan prinsip fundamentalnya, otonomi dan kebebasan akademik.

Tantangan Universitas

Jika politik pragmatis elite kampus lebih dominan akibat pola rekruitment mentri yang sangat politis, kampus pada akhirnya terjebak dalam kesibukan politik kampus yang tak berkesudahan. Konflik dan perseteruan kelompok elite kampus tak bisa dihindari. Kampus akhirnya tidak bekerja efektif untuk menghadapi tantangan zaman yang terus berubah ini. 

Bukankah era disrupsi serta faktor perkembangan revolusi industri keempat memberikan tantangan sekaligus peluang bagi universitas. Bukankah perubahan perilaku pada generasi millenial sekaligus perubahan-perubahan lain yang terjadi secara cepat, massif, yang turut mempengaruhi perkembangan di masa depan, jauh lebih penting menjadi bahan diskursus elite universitas ketimbang kasak-kusuk jual beli jabatan rektor? 

Masa depan universitas harusnya menjadi perbincangan utama jelang pemilihan rektor, bukan kasak kusuk si A didukung menristekdikti, si B punya orang kuat di kementrian, si C orang dekatnya partai politik, si D punya rekomendasi ormas terbesar, si E sudah punya milyaran rupiah untuk mengguyur semuanya, dan lain-lain. Suatu perbincangan yang menjijikan jelang pemilihan rektor. 

Saya kira lebih baik kita merenung tentang tantangan Universitas di era disrupsi ini yang terus berubah tak tentu arah. Sebagaimana Christensen (The Innovator’s Dilemma 1997) memperkenalkan gagasan disruptive innovation, sebagai cara untuk memikirkan institusi bisnis yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan, tetapi memiliki kemampuan mengantisipasi kebutuhan masa depan. Kampus, saya kira mesti berfikir keras soal ini, untuk memberi kemampuan pada generasi milenial agar siap menghadapi dan mengantisipasi tantangan era ini. 

Pada sisi lain, problem peringkat universitas kita dimata dunia yang menurut QS World University Rankings (WUR) tahun 2019 masih peringkat dua ratusan bahkan posisi delapan ratusan diantara seribu universitas (https://www.hotcourses.co.id/study/rankings/qs-world.html) adalah persoalan yang juga jauh lebih penting untuk diperbincangkan elite kampus jelang pemilihan rektor, di mana posisi kampus kita? Sanggupkah para calon rektor menaikan kualitas posisi kampus di mata dunia. 

Para profesor dan anggota senat universitas yang terhormat berhentilah berfikir untuk kepentingan pragmatis sekedar kekuasaan sesaat. Kita memerlukan rektor yang berani menjaga marwah universitas, memiliki integritas dan visioner, agar dunia kampus kembali kokoh memegang prinsip fundamentalnya. 

 

TENTANG PENULIS: UBEDILAH BADRUN, pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ketua Asosiasi Program studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Indonesia (APPSANTI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement