Ahad 28 Apr 2019 16:15 WIB

Pilpres 2019: Paham Agama Makin Membelah Kita, What Next?

Jokowi menang makin telak di ujung timur, Prabowo di ujung barat.

Denny JA
Foto:
Denny JA

Beberapa peristiwa memperdalam pembelahan itu. Wacana NKRI bersyariah berulang-ulang digaungkan Habieb Rizieq. Om Google mencatat itu. Dalam reuni 212, misalnya, Rizieq berulang-ulang menyatakan.

Ketika memutuskan mendukung Prabowo, Rizieq juga menyampaikan perlunya NKRI Bersyariah. Prabowo juga menunjukkan sikap positif kepada figur Habieb Rizieq. Berulang Prabowo menyatakan diri akan menjemput sendiri Habieb Rizieq sehari setelah ia dilantik sebagai presiden.

Ini pemicu yang membuat Muslim garis FPI, Reuni 212 dan yang merasa bagian gerakan ini mendekat kepada Prabowo. Sebaliknya, pemilih minoritas justru berbondong-bondong menjauh dari Prabowo. Terminologi NKRI Bersyariah tidak membuat mereka nyaman.

Garis Muslim konservatif semakin dalam berkumpul pada Prabowo didahului dua event. Pertama dibubarkannya HTI oleh pemerintahan Jokowi. Sebagai komunitas, HTI saat itu sudah mulai meluas dan mengakar.

Berulang-ulang video HTI disebar dan viral. Tergambar HTI bukan saja merasa demokrasi adalah musuh. Bahkan Pancasila pun dianggap bukan pedoman hidup berbangsa Indonesia. HTI menggaungkan supremasi pemerintahan khilafah, pemerintahan Islam yang melampaui batas negara.

Karena dilarang, komunitas HTI dengan sendirinya mengambil jarak terhadap Jokowi. Tak ada pilihan lain, kelompok ini berkumpul mengitari Prabowo. Semakin kelompok ini mendekat kepada Prabowo, sebaliknya, semakin kelompok minoritas pergi dari Prabowo.

Kedua, event lain yang penting  dimulainya kasus pidana atas Habieb Rizieq. Beberapa kasus ditimpakan kepada Rizieq paska pilkada Jakarta. Itu mulai dari tuduhan penodaan Pancasila hingga video porno.

Ini pula yang menjadi pemicu Rizieq akhirnya memilih hidup di Arab Saudi. Di luar, Rizieq semakin lantang menyuarakan sikapnya yang bersebrangan dengan Jokowi.

Hantaman kepada Jokowi dipopulerkan dengan istilah kriminalisasi ulama. Istilah itu sendiri juga kontroversial, bukan istilah hukum yang tepat untuk kasus Rizieq. Istilah itu digunakan sebagai labeling yang dianggap sengaja untuk membuat Jokowi menjadi common enemy pemilih Islam.

Jokowi pun membaca gelagat. Tidaklah heran, ketika Jokowi memilih cawapres, ia dahulukan tokoh dengan background Islam yang kuat. Karena paling besar populasi muslim dari NU, tokoh NU menjadi pilihan. Ini pula yang menjadi sebab mendekatnya komunitas NU kepada Jokowi.

Dalam pilpres 2019, kita mendapatkan buah dari semua sinerji itu. Terjadi pembelahan elektoral. Pemilih minoritas, plus Muslim yang abangan, yang banyak di Jawa Tengah, yang moderat, yang NU, yang banyak di Jawa Timur berkumpul di  balik Jokowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement