REPUBLIKA.CO.ID, Ratusan pelajar dari berbagai sekolah dasar (SD) yang ada di Kecamatan/Kabupaten Purwakarta sudah berkumpul sejak pagi di SMPN 10 Kahuripan Pajajaran Purwakarta. Mereka bukan mau berdemo ataupun tawuran, tetapi mereka menjadi peserta festival budaya maneuh di Sunda.
Dalam festival itu, tiga kegiatan berbau lumpur diperlombakan, yaitu lomba ngagubyag balong, lomba tandur padi, dan lomba ngurek belut.
Januar Raditya Pramata (12 tahun), pelajar kelas VI SDN Tegalmunjul, mengaku baru kali ini mengikuti festival perlombaan yang berlumpur. Dia bersama timnya memilih ikut perlombaan tandur. Alasannya sangat sederhana, yaitu karena seumur hidupnya Januar belum pernah turun ataupun bermain di sawah.
"Jadi sangat penasaran tandur itu seperti apa dan bagaimana rasanya," ujar pelajar yang beranjak remaja ini, kepada Republika.co.id, Rabu (13/3).
Karena itu, tim dari Januar ini berupaya untuk mengikuti arahan dari panitia supaya bisa menanam padi dengan baik. Bagi Januar, bukan lombanya yang berkesan, melainkan bermain di alamnya yang paling tak terlupakan.
Apalagi, bermain lumpurnya. Sangat mengasyikan. Karena, Januar tinggal di perkotaan. Kedua orang tuanya tak mempunyai sawah. Jangankan bermain lumpur di sawah, main di pekarangan yang lapang saja sangat sulit.
"Saya tinggal di perumahan. Kalau main, paling sepedaan di jalan kompleks. Tidak pernah ke sawah. Makanya, sangat bersemangat ikut tandur ini," ujar pelajar dengan kulit sawo matang ini.
Tak hanya tandur, yang paling banyak peserta dan tim penggembiranya yaitu perlombaan ngagubyag balong. Anak-anak perkotaan ini, nampak canggung ketika harus memasuki kolam dengan air yang berwarna kecokelatan dan penuh lumpur.
Tetapi, suasana tegang berubah menjadi mengasyikkan ketika anak-anak dari berbagai SD ini berupaya menangkap ikan dengan tangan kosong. Tak peduli baju mereka basah dan kotor, tangan-tangan mungil ini terus menyasar permukaan air kolam untuk menangkap ikan.
Muhammad Ayub (12), pelajar SDN 1 Munjul Jaya, mengatakan, ia sangat tegang ketika menangkap ikan di kolam, apalagi memakai tangan kosong. Tapi, ini pengalaman yang tak terlupakan.
"Alhamdulillah, dapat juga ikannya, meskipun awalnya takut karena menangkapnya hanya pakai tangan saja," ujarnya.
Sementara itu, Kepala SMPN 10 Kahuripan Padjajaran Purwakarta, Neneng M Patimah, mengatakan, festival budaya maneuh di Sunda ini merupakan kali pertama diselenggarakan di wilayah perkotaan. Tujuannya ingin mengenalkan lagi budaya masyarakat sunda yang diaplikasikan dalam pelajaran sekolah. Salah satunya yaitu ngagubyag balong serta tandur atau tanam padi.
"Sudah saatnya anak-anak kita dikenalkan lagi dengan alamnya karena ternyata pelajaran nenek moyang kita zaman dulu, terutama dalam menjaga kelestarian alam itu sangat luar biasa," ujar Neneng.
Selain itu, festival ini diharapkan bisa meminimalkan pelajar supaya tidak ketergantungan pada gadget. Jadi, seharian ini mereka bebas bermain di alam.
Tentunya, bermain lumpur yang punya makna tersendiri. Sebab, tak sekadar main lumpur, tetapi mereka akan mengetahui bagaimana menanam padi, bagaimana mencari belut, menangkap ikan. Dengan pelajaran ini, diharapkan kelak mereka bisa survive di kondisi alam yang bagaimanapun.
Dalam kesempatan yang sama, Kabid Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta Dodi Winandi sangat mengapresiasi festival ini. Apalagi, Dinas Pendidikan Purwakarta punya jargon: tujuh poe atikan. Jadi, setiap harinya harus ada ilmu yang dimanfaatkan oleh pelajar, termasuk ketika mereka betah di rumah setiap Sabtu dan Ahad. Namun, mereka harus tetap belajar.
"Hal sederhana saja, yaitu menangkap belut, itu sarat makna, yaitu menguji kesabaran, menjaga kelestarian alam, serta anak bisa bertahan di kondisi lingkungan apa pun," ujar Dodi.