Kamis 06 Dec 2018 05:57 WIB

Mendefinisikan OPM dan KKB

Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya tapi terlampau umum.

Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, Rabu (5/12).
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, Rabu (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fahmi Alfansi P Pane, Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia

Pembantaian puluhan pekerja Jalan Trans-Papua pada 2 Desember dan penyerangan pos TNI di Kabupaten Nduga, Papua, harus didefinisikan secara tepat. Terlebih, Juni 2018, kelompok serupa menembaki pesawat pengangkut personel Brimob dan warga sipil.

Beberapa pekerja Trans-Papua dan personel aparat keamanan juga diserang sepanjang tahun 2016-2017. Bahkan, tahun 2017, seribu orang lebih di Kampung Kimbely dan Banti, Mimika, pernah disandera kemudian dibebaskan aparat TNI dan Polri.

Kelompok bersenjata di Papua mengaku dirinya dengan berbagai nama, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB), dan sebagainya. Selama ini kelompok bersenjata di Papua atau OPM disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).

 

Istilah tersebut merefleksikan strategi komunikasi publik dari pemerintah dan polisi, sekaligus pendefinisian masalah keamanan di Papua disebabkan adanya organisasi yang melanggar hukum pidana (kriminal) dengan memiliki dan menggunakan senjata secara ilegal.

Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Begal motor, perampok bank dan rumah misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api (tajam) dalam aksi kriminalnya. Sebagian pihak menilai OPM, TPNPB, atau apa pun namanya adalah separatis.

Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia atau mengerat sebagian keutuhan wilayah Indonesia, separatis tergolong makar yang dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Definisi lain terhadap OPM adalah pemberontak terhadap negara atau pemerintahan yang sah. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun.

Masalahnya, yang dapat dipidanakan dengan penyebutan istilah separatis, makar, atau pemberontak ini hanya perorangan. Padahal, OPM dan sejenisnya bukan sekadar kumpulan orang per orang seperti begal motor.

OPM adalah organisasi yang mempunyai tujuan tertentu yang mengikat semua orang yang bergabung di dalamnya dan tidak bergantung pada individu tertentu. Saat seorang pemimpin sebuah distrik tertangkap atau bertobat, dia digantikan yang lain.

Roda aktivitas organisasi berjalan kembali, yang berarti serangan kepada TNI, Polri, dan warga sipil dapat dilakukan lagi. Risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka dan anasirnya di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata noninternasional atau di dalam sebuah negara.

Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando … sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus  dan teratur,” yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa.

Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa.

Walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.

Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif. Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang. Mereka yang tertangkap dipidanakan dengan perbuatan makar. Pemerintah juga perlu mendefinisikan OPM sebagai organisasi teroris sesuai UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement