Rabu 14 Nov 2018 17:04 WIB

Kisah Pak Joko dan Guru di Seberang Istana

Catatan-catatan sejarah menunjukkan derajat seorang guru di negeri ini sangat tinggi.

Karta Raharja Ucu
Foto: Republika/Daan
Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu (@kartaraharjaucu), wartawan Republika.co.id

Ibu saya yang pensiunan seorang guru, tertegun saat saya perlihatkan video singkat yang mempertontonkan sejumlah murid SMK sedang mempersekusi seorang gurunya di dalam kelas. Video berdurasi 24 detik itu memperlihatkan sejumlah anak mendorong, bahkan melakukan gerakan menendang kepada guru mereka. Jagat media maya pun mendadak ramai. Video itu viral. Setelah ditelusuri ternyata kejadian tersebut terjadi di SMK NU 03 Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.

Di dalam video itu memperlihatkan guru yang diketahui bernama Joko Susilo itu didorong seorang murid dan dikepung murid lainnya di depan sebuah ruang kelas. Mereka terlihat seolah saling menghalau dengan saling tendang, hingga sepatu Guru Joko melayang. Video berakhir dengan suara tawa para siswa.

Setelah video itu viral, Kepala SMK NU 03, Muhaidin langsung memberikan klarifikasi. Ia mengklaim kejadian dalam video itu adalah guyonan. Namun, benarkah hanya guyonan belaka? Pertanyaannya apa pantas seorang murid bercanda dengan gurunya dengan gerakan menendang?

Sikap Bupati Kendal, Mirna Anissa yang langsung menemui murid dan wali murid yang mempersekusi Pak Joko menjadi jawabannya. Dari pernyataannya yang menggertak para murid akan dititipkan ke kantor polisi, menjadi sikap prihatin sekaligus geramnya Mirna.

''Kalau nakal, agak nakal, titipin ke polres boleh kok sehari dua hari, apa ke polsek," kata Mirna yang merasa perlu turun tangan karena peristiwa itu berkaitan dengan etika warga Kendal.

Guru Joko pun meminta maaf kepada masyarakat Indonesia terkait videonya yang viral. Pria yang sudah 15 tahun mengabdi sebagai guru itu bahkan mendoakan anak-anak didiknya yang 'bercanda' dengannya. "Saya hanya berharap kepada mereka supaya bisa jadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, dan jadi anak yang lebih baik lagi," ujar guru gambar tehnik otomotif itu.

Kejadian Pak Joko dan murid-muridnya, seolah menggambarkan jika adab seorang murid kepada gurunya di sana sudah meluntur. Padahal, adab kepada guru sangat penting. Pengakuan Imam As Syafi’i yang membalikan kertas kitab dengan sangat lembut saat belajar kepada gurunya, Imam Malik, bisa menjadi catatan penting, bagaimana seharusnya seorang murid menjaga kesopanan dan rasa hormat kepada gurunya. Imam Syafi'i melakukan itu karena segan dan berharap Imam Malik tak mendengarnya membalikan kertas kitab.

Adab kepada guru juga dicontohkan Umar Ibnu Khattab. Di berbagai kesempatan, Umar yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah. Semua itu dilakukan karena ia sangat menghormati guru, sahabat, sekaligus rasul hingga akhir zaman.

Di Indonesia kita bisa belajar dari kisah Presiden pertama RI, Ir Sukarno. Dalam pidatonya saat pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Jakarta pada 25 November 1962, Bung Karno menyatakan mengagumi gurunya, KH Ahmad Dahlan sejak remaja. Bung Karno mengaku terpesona dengan cara berdakwah dan cara Kiai Ahmad Dahlan menyampaikan ceramah, sejak ia masih tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto.

''Saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa dan terpukau –dalam arti yang baik– oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Karena itu saya ngintil–ngintil Kiai Ahmad Dahlan itu,'' kata Sukarno yang pada 1938 resmi menjadi anggota Muhammadiyah, organisasi yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan.

Contoh lain dari tingginya derajat seorang guru ada di sosok KH Hasyim Asyari. Fatwa jihadnya melawan agresi militer Inggris dan NICA pada peristiwa 10 November di Surabaya, menjadi bukti shahih, titah pendiri Nahdlatul Ulama dan Pondok Pesantren Tebu Ireng itu sangat didengar para santri, bahkan rakyat Indonesia.

Catatan-catatan sejarah itu membuat saya masih yakin, derajat seorang guru di negeri ini sangat tinggi. Meski di sejumlah wilayah banyak guru yang masih mendapatkan gaji jauh dari kata layak. Khususnya guru-guru honorer yang nasibnya masih jauh panggang daripada janji.

Contoh paling hangat adalah berkumpulnya puluhan ribu guru honorer di depan Istana untuk memperjuangkan nasib mereka. Bapak dan ibu guru yang sebagian sudah tak lagi muda itu bahkan rela bermalam dan tidur di atas aspal, demi menyuarakan aspirasinya kepada Presiden Joko Widodo. Semua yang datang mengusung satu pertanyaan, bagaimana nasib mereka yang tak kunjung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) meski sudah puluhan tahun mengabdi? Karena, menurut saya, para guru itu seharusnya mendapatkan gaji layak untuk pengabdiannya mendidik anak bangsa.

Dibesarkan sebagai seorang anak guru, saya sedari kecil diberi pemahaman bagaimana seharusnya menjaga adab kepada orang yang lebih tua. Orang tua, kakak, dan guru di sekolah. Saya yang sudah melewati periode 16 tahun belajar di sekolah formal dari SD hingga perguruan tinggi, tidak pernah sekalipun berani melawan guru. Bahkan, untuk 'bertamu' ke ruang guru pun saat masih berseragam putih merah, putih biru, sampai putih abu-abu, saya sangat segan.

Karena itu, peristiwa persekusi murid kepada gurunya di Kendal tidak bisa kita jadikan patokan jika adab seorang murid kepada gurunya di Indonesia sudah meluntur. Usai video Guru Joko viral di media sosial, video-video lain di media sosial yang memperlihatkan murid menjaga adab dan etikanya kepada guru, berseliweran. Seperti sejumlah murid yang sedang bermain sepak bola di sebuah lapangan pesantren, langsung menghentikan permainan, ketika gurunya melintas. Mereka diam, berdiri dan menundukan kepala. Sementara gurunya berjalan tenang melintasi lapangan. Permainan baru dilanjutkan setelah gurunya tersebut sampai ke seberang lapangan.

Peristiwa Guru Joko bisa menjadi pengingat kepada orang tua, agar memberikan pemahaman lebih banyak dan lebih sering bagaimana menghormati gurunya di sekolah. Tidak semua guru di Indonesia bergaji layak sehingga memiliki kehidupan yang sejahtera. Padahal mereka juga memiliki keluarga yang harus dinafkahi. Memiliki anak yang mesti disekolahi. Sehingga sudah sepantasnya kita para orang tua, kita para murid di sekolah, menghormati atau setidaknya menjaga perasaan guru-guru yang saban hari menghabiskan waktunya mengajar di kelas dan dibebani mengurus keluarga di rumah.

Seperti pengakuan ibu saya yang 34 tahun mengabdi sebagai guru, sekolah adalah ladang untuk beliau memanen pahala yang tidak terputus. Karena itu, saya berharap Presiden Joko juga melihat peluang untuk memanen pahala dari para rekan Guru Joko. Caranya? Tentu dengan lebih memerhatikan kesejahteraan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement