REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru bisa mengakses data pada tide gauge, alat pendeteksi ketinggian air muka laut, yang dipasang di perairan Kota Palu pada Rabu (3/10) pagi. Padahal, sebelumnya alat tersebut dinilai tidak berfungsi karena tak langsung mengeluarkan data.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan, ketika kejadian BMKG bekerja berdasarkan pemodelan gempa untuk menginformasikan dan mengakhiri peringatan dini tsunami. Namun, berdasarkan data tide gauge, peringatan dini dikahiri setelah tsunami terjadi.
"Ini catatan tide gauge yang baru kemarin (Rabu) pagi dibuka," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (4/10).
Baca juga, Tsunami Palu adalah Skenario Terburuk.
Berdasarkan data tide gauge, ia menjelaskan, gempa kali pertama mengguncang Kota Palu pada Jumat (28/9) pukul 15.00 WITA dengan berkekuatan 6,0 skala Richter (SR). Gempa dirasakan cukup kuat dan mengakibatkan banyak rumah mengalami kerusakan.
Ia mengatakan, tim Stasiun Geofisika Palu langsung turun ke lapangan untuk mendata kerusakan. Namun, baru setengah perjalanan, gempa kembali terjadi dengan kekuatan yang lebih besar.
BMKG mencatat gempa terjadi pada pukul 18.02 WITA berkekuatan 7,7 SR, yang kemudian diperbarui menjadi 7,4 SR. "Ini adalah gempa yang paling besar dan memicu tsunami," ungkap Daryono.
Setelah itu, ia melanjutkan, pada pukul 18.06 WITA. Ini setelah tim BMKG bekerja selama empat menit untuk menentukan parameter, peringatan dini tsunami dikeluarkan. Peringatan dini itu sekaligus menentukan perkiraan waktu tiba tsunami dan ketinggiannya di sekitar Kota Palu.
Berdasarkan data tide gauge, pada pukul 18.08 WITA, air laut surut. Setelah itu, pukul 18.10 WITA terjadi kenaikan air atau pasang tertinggi di Pelabuhan Pantoloan. "Ini adalah tsunami yang terbesar," kata dia.