Sabtu 29 Sep 2018 05:37 WIB

Apa yang Kau Rasa tentang Haringga?

'Saya sedih membayangkan seorang anak yang ingin menonton bola, pulang tinggal nama'

Asma Nadia
Foto:

Heran. Ya, tak habis pikir dengan--terlepas betapa brutal visualisasi pembunuhan yang dilakukan--masih ada yang memberi pembenaran terhadap kejadian tersebut. Setidaknya ini yang saya temukan dari komentar di medsos yang diucapkan simpatisan atau suporter tim yang sama.

“Salah sendiri, kenapa sok foto-foto (selfie) dengan kartu anggota tim lawan.”

“Itu karma, dia mendapat apa yang diperbuat sebelumnya.”

Allahu Rabbi. Dalam musibah teramat tragis, air mata yang belum surut dari pihak keluarga, bagaimana mungkin muncul deret kalimat yang mempertanyakan kegeraman yang saya dan serta keluarga ekspresikan di media sosial dan //youtube//, terhadap kejadian tersebut.

“Mbak, di mana ketika dulu suporter lain ada yang tewas?”

“Kenapa baru sekarang mendadak jadi pemerhati bola?”

Mereka sungguh membuat saya terperangah. Tidak paham ke mana rasa kemanusiaannya, paling tidak logikanya. Tidak perlu jadi pemerhati bola untuk bisa menilai apa yang terjadi adalah kekejian luar biasa. Apalagi, saya bukan penggemar kedua tim tersebut.

Apakah seseorang tidak boleh marah terhadap sebuah keburukan, hanya karena sebelumnya dia (dianggap) tidak marah saat terjadi keburukan yang sama? Boleh jadi dulu dia salah tidak bersikap, dan sekarang berusaha memperbaiki diri.

Atau tidak mengikuti karena sedang tidak berada di Tanah Air. Apakah seorang polisi tidak boleh berjuang keras menangkap seorang perampok karena sebelum-sebelumnya gagal menangkap penjahat?

“Dulu gagal ditangkap kenapa sekarang berhasil?”

Entah makhluk jenis apa yang telah menyusupi cara berpikir seperti ini. Mengapa menghakimi seseorang yang melakukan sesuatu yang tidak salah, dan sedang berusaha lebih baik? Mengapa bukan justru pelaku yang menjalankan kejahatan yang disoroti?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement