Jumat 03 Aug 2018 15:13 WIB

Ekonomi Bocor dan Rezim Devisa Bebas

Miras ilegal bakal dilelang untuk pemasukan negara

Petugas menata pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Kwitang, Jakarta, Jumat (18/5). Nilai tukar rupiah di pasar spot yang ditransaksikan pada Jumat (18/5) ditutup melemah 98 poin atau terdepresiasi 0,70 persen ke level Rp14.156 per dolar AS.
Foto: Aprillio Akbar/Antara
Petugas menata pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Kwitang, Jakarta, Jumat (18/5). Nilai tukar rupiah di pasar spot yang ditransaksikan pada Jumat (18/5) ditutup melemah 98 poin atau terdepresiasi 0,70 persen ke level Rp14.156 per dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, ekonomi Indonesia saat ini mengalami kebocoran. Hal itu karena devisa hasil ekspor tidak seluruhnya kembali ke dalam negeri.

"Dalam kaidah ekonomi, kalau devisanya tidak masuk itu bocor. Sehingga, itu mengurangi cadangan devisa juga mengurangi kemampuan penambahan uang beredar," kata Darmin dalam "Business Lunch: Waspada Ekonomi Indonesia di Tahun Politik", di Jakarta, Kamis (2/8).

Darmin menjelaskan, sejauh ini devisa hasil ekspor (DHE) tidak seluruhnya kembali ke dalam negeri. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa pada akhir Juni 2018 sebesar 119,84 miliar dolar AS atau terus menurun sejak 2017. Sebagai salah satu sumber penerimaan devisa, hanya 90 persen DHE yang dilaporkan ke bank domestik. Sementara, hanya sekitar 15 persen yang dikonversi menjadi rupiah.

Pemerintah memang tidak bisa memaksa seluruh DHE kembali ke dalam negeri. Hal ini karena sistem di Indonesia menganut rezim devisa bebas sesuai dengan Undang-Undang nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa. Padahal, jika 100 persen valas masuk ke BI, kemudian rupiah yang diciptakan dari pendapatan, bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang makin baik bagi Indonesia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir dalam acara ini juga menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang longgar dalam aturan lalu lintas devisa. Dia menyebut negara seperti Thailand dan Singapura justru memiliki aturan yang lebih ketat terkait hal tersebut.

"Kita tidak surrender seperti di Thailand. Kalau di Thailand, surrender. Artinya, kalau Anda di Thailand, ekspor barang-ba rang semua dolarnya masuk ke bank sentral dan keluarnya baht," kata Jusuf Kalla.

JK, sapaan akrabnya, menjelaskan, untuk memperbaiki ketahanan devisa negara, Pemerintah Indonesia perlu juga memperbaiki aturan yang berlaku, seperti lalu lintas devisa, selain mendorong ekspor dan menurunkan volume impor. Sebab, kalau hanya memperbaiki neraca perdagangan lewat eksporimpor tidak bisa maksimal tanpa ada perubahan aturan mendasar, seperti dalam menyimpan devisa di dalam negeri.

Di Surabaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana melelang minuman keras (miras) ilegal yang diamankan Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I. Hal ini dilakukan guna menambah pemasukan negara. Meski demikian, Sri menyadari bahwa keinginan itu bergantung pada kebijakan kejaksaan dan pengadilan yang menyidangkan kasus tersebut.

"Ini adalah barang sitaan. Jadi, statusnya bukan barang yang bebas. Kita akan sangat bergantung kepada kejaksaan dan pengadilan untuk bisa melakukan proses secara cepat sehingga barang itu kemudian bisa sah untuk dilakukan pelelangan," kata Sri Mulyani di PT Terminal Petikemas Surabaya, Kamis (2/8).

Dia pun berharap petugas bisa mempertimbangkan usulannya. Jika harapannya dikabulkan pengadilan, perusahaan yang boleh mengikuti lelang hanya perusahaan yang mempunyai izin, yakni perusahaan yang memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).

Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2018 sebesar 119,8 miliar dolar AS atau turun 3,1 miliar dolar AS dibandingkan posisi akhir Mei 2018 yang sebesar 122,9 miliar dolar AS. Penurunan ini juga lebih dalam dibandingkan bulan lalu yang turun sebesar 2 miliar dolar AS dari posisi akhir April 2018 yang sebesar 124,9 miliar dolar AS. n ed: debbie sutrisno

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement