REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah, menilai PKS sulit membentuk poros baru dari dua koalisi yang ada saat ini. PKS harus punya figur yang layak jual untuk membangun poros baru.
"Saya kira PKS tidak semudah itu membangun koalisi atau poros baru tanpa ada figur yang layak dijual. Jadi jualannya apa dulu, ini yang harus dicatat oleh PKS," tutur dia kepada Republika.co.id, Selasa (31/7).
Toto mengumpamakan Partai Gerindra dan Demokrat. Dua partai ini sudah jelas memiliki figur yang tepat untuk 'dijual' ke publik, yakni Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Prabowo menjadi figur kuat setelah pejawat Joko Widodo. Sedangkan AHY, keterkenalannya cukup kuat usai bertarung di Pilgub DKI 2017 lalu.
Menurut Toto, selain figur, perlu ada isu yang menjadi magnet hingga membuat banyak orang tertarik. Sentimen keagamaan, memang menjadi isu yang cukup menjadi magnet. Namun, isu tersebut sudah digunakan Prabowo dan bahkan melekat pada dirinya. Sehingga, sulit bagi PKS untuk membangun poros baru.
Toto menambahkan, kalaupun PKS ingin 'menangkap' partai-partai yang kecewa dengan keputusan Joko Widodo (Jokowi) terkait pilihan cawapresnya, maka itu langkah yang mustahil. Sebab, posisi Jokowi saat ini masih moncer ketimbang tokoh lain. Walhasil, enam parpol pendukungnya sukar meninggalkan.
Sejak awal Toto sudah beranggapan keakraban PKS dan Gerindra sejak Pilpres 2014 justru rawan pecah. Dua partai ini punya kepentingan yang berbeda. Kubu Prabowo, menurut dia, tidak ingin maju ke Pilpres kalau sekadar untuk kalah. Apalagi itu hanya buang-buang energi.
Toto berpendapat, figur yang disodorkan PKS ke Prabowo belum layak untuk memenangkan kontestasi. Dalam kondisi ini, kubu Gerindra amat realistis dan karena itulah Prabowo harus menemukan cawapres yang punya elektabilitas tinggi agar peluang kemenangannya besar.
"Perlu cawapres yang bisa menambah kekuatan Prabowo. Di sekian daftar tokoh PKS, itu tidak ada. Tapi kita tahu PKS berharap betul cawapres Prabowo dari partainya atau kadernya. Ini tidak mudah sampai pada titik temu," kata dia.
Direktur Pencapresan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Suhud Aliyudin menegaskan pihaknya membuat batasan waktu kepada Prabowo untuk mengumumkan cawapresnya. Sebenarnya, PKS membatasi sampai tanggal 30 Juli, tapi karena ada Ijtima' Ulama dengan rekomendasnya maka harus dibahas lagi.
"Bisa juga tanggal 3 Agustus. Intinya kita segara membahas kapan deadline yang harus dilakukan terkait masalah capres dan cawapres ini," jelas Suhud saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (31/7).
Hasil Ijtima' GNPF Ulama pada akhir pekan lalu meromendasikan Ketua Majelis Syura PKS, Salim Segaf Al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad sebagai cawapres. Menurut Suhud, jika Prabowo tidak memilih cawapres hasil rekomendasi Ijtima' Ulama, PKS akan menimbang ulang koalisi.
"Kalau misalkan di luar sembilan nama apalagi dari luar Ijtima' Ulama, maka kita akan membahas ulang proses koalisi ini kalau memang tidak ada titik temu," tutur Suhud.
Suhud tidak menampik, PKS masih terus menjalin komunikasi dengan partai politik (parpol) di luar Partai Gerindra, PAN dan Demokrat. Alasannya, PKS masih menilai ada kemungkinan munculnya poros ketiga pasangan capres-cawapres.
Untuk DPW PKS seluruh Indonesia, Suhud mengklaim, mereka menginginkan sembilan kader PKS itu masuk dalam cawapres. Suhud juga mengatakan, jika yang dipilih Prabowo sebagai cawapres dari kader PKS maka mesin politik itu akan bekerja optimal, tapi sebaliknya jika di luar kader PKS dan belum tentu PKS setuju.
"Jadi sekarang ini bolanya ada di tangan Pak Prabowo, apakah dia mau mengambil sembilan nama itu atau mengambil dari rekomendasi Ijtima' Ulama itu tergantung dari Prabowo, kalau kami sebetulnya sifatnya menunggu," ucap Suhud.