REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, Ahad (29/7) kemarin menggelar seminar kebangsaan dengan tema "Menelisik Akar Radikalisme Dakwah Melalui Media, Serta Menganggulangi Radikalisme Agama Pada Zaman Now".
Dalam seminar yang diikuti oleh ratusan mahasiswa, santri dan aktivis organisasi kemasyarakatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yang cukup kompenten di antaranya Aktivis IKA PMII Cilacap NS Santoso Kristeva, Budayawan Nasional Ahmad Tohari, Direktur NU Online Syafiq Ali Aid Mustaqim dan sejumlah tokoh agama di Kabupaten Cilacap.
Menurut Aid Mustaqim, pengeritan radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan perubahan kondisi sosial tertentu dengan yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebab munculnya radikalisme Islam biasanya karena orang-orang lebih mempercayai berita instan melalui internet, tanpa data yang jelas. Radikalisme juga mulai menyasar generasi muda yang sedang mencari jati diri, oleh karena itu saat ini banyak kombatan yang masih berusia muda.
"Muslim Indonesia harus berpegang teguh bahwa mereka merupakan bangsa Indonesia yang kebetulan beragama Islam, bukan sebaliknya. Sehingga tidak perlu mencontoh Islam yang di negara lain seperti Mesir, Suriah, Afghanistan. Muslim Indonesia perlu menanamkan rasa saling menghormati antar umat bergama karena berbangsa yang sama, yakni bangsa Indonesia," katanya.
Di tempat yang sama, penulis novel "Ronggeng Duku Paruk" KH Ahmad Tohari dalam penyampaian materi mengatakan, ada beberapa faktor sosial yang mempengruhi adanya gerakan radikalisme yakni muslim di Indonesia hidup dalam kondisi penuh kegelisahan. Selain itu, orang-orang kini lebih suka berkomunikasi melalui media sosial, sehingga lebih berani menyampaikan pesan radikal melalui media sosial seperti facebook, website, youtube
"Cara-cara yang dapat diterapkan agar menjadi orang yang Pancasilais yakni dengan mengingat tiga hal, mengingat Allah, mengingat diri sendiri, mengingat darimana kita berasal siapa diri kita. Kontribusi terhadap negara dan agama dapat dilakukan melalui hal-hal yang positif," jelasnya.
Sementara itu, NS Santoso Kristeva Aktivis PMII, NU, dan Akademisi mengungkapkan, gerakan-gerakan radikalisme yang pernah terjadi di Indonesia antara lain gerakan Islam yang menginginkan Indonesia menegakkan syariat Islam, dan ada pula gerakan yang mendorong Indonesia menjadi negara Islam.
Lebih lanjut, Substansi radikalisme banyak mengkaji dan menginterpretasi ayat-ayat Alquran secara tekstual saja tanpa mampu memahami maknanya. Radikalisme biasa menggunakan terminologi “Jihad” dan “Qital”, namun hanya 10 ayat diantara 39 ayat dalam Alquran yang menunjukkan makna perang. Artinya, radikalisme merupakan sebuah pemahaman atas Alquran yang keliru.
"Musuh gerakan Ahlussunah Waljamaah yakni fundamentalis agama, fundamentalis pasar, fundamentalis politik," tuturnya.
Kemudian, eleemen utama literasi media dalam rangka mencegah masuknya radikalisme yakni menyaring informasi yang kita terima melalui media sosial, jangan sampai percaya hoax tidak mudah percaya pada suatu berita, dan tidak langsung mempercayai suatu artikel atau berita tanpa melakukan kroscek Tidak mencari dalil agama dari internet.
"Perlu mencari sumber yang jelas kebenarannya Meningkatkan apresiasi terhadap media. Jangan dimakan mentah-mentah informasi yang kita dapat sebelum dilakukan cek and ricek," katanya.