REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pasal 222 Undang Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dinilai telah mendegradasi kadar pemilihan langsung dan menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi sangat terbatas. Tak pelak pasal mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen ini dianggap mencederai demokrasi di Indonesia. Akhirnya pasal ini pun kembali digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu pihak yang mendaftarkan gugatan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang syarat Presidential Threshold ke MK adalah Panglima Front Pembela Rakyat (FPR), Nugroho Prasetyo. Dia menggugat pasal tersebut pada Kamis, (21/6).
Menurut Nugroho, pasal presidential threshold ini merusak demokrasi. Oleh karena itu, dirinya akan terus berjuang untuk menegakkan proses demokrasi. "Sebenarnya presidential threshold 20 persen ini karena bentuk rasa ketakutan besar Jokowi kalah pilpres 2019,” katanya dalam siaran persnya, Jumat (22/6).
Menurutnya, dengan adanya ambang batas 20 persen untuk mencalonkan presiden, sama saja dengan membunuh demokrasi. Oleh karenanya, demi menciptakan iklim pertarungan politik yang sehat pada Pemilu 2019, Nugroho mengajukan gugatan agar PT 0 persen.
"Saya merasa juga ada upaya mengiring ke calon tungal, dan ini bagi saya tidak sehat untuk demokrasi, maka saya beranikan diri (melakukan gugatan)," ungkapnya.