Rabu 21 Feb 2018 01:02 WIB

Men-design Demokrasi Berintegritas

Sejak tahun 2004-2017 terdapat 392 kepala daerah tersangkut hukum, terbesar korupsi.

 M. Husni Fachruddin
Foto: dok. Istimewa
M. Husni Fachruddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Husni Fahruddin Al Ayubi *)

Selama 13 tahun, sejak 2004-2017, sedikitnya ada 300-an kepala daerah yang tersandung korupsi. Dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, Desember 2017, Mendagri Tjahjo Kumolo, membeber data mencengangkan. 

Sejak tahun 2004-2017 terdapat 392 kepala daerah tersangkut hukum, jumlah terbesar adalah korupsi sebanyak 313 kasus. Modus terbesar kasus itu adalah penyuapan.

"Sektor rawan korupsi antara lain penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, hibah dan bansos, perjalanan dinas, serta sektor perizinan," papar Tjahjo, seperti diberitakan Jawapos, 11 Desember 2017.

Tahun 2018, belum genap dua bulan, sudah ada tujuh kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Beberapa di antaranya terjerat operasi tangkap tangan oleh KPK.

 

Tahun ini menjadi tahun politik seiring digelarnya Pilkada Serentak di 171 daerah.  Dari kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, beberapa di antaranya telah mencalonkan diri sebagai kandidat di Pilkada 2018.

Penangkapan Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih, menambah daftar tersangka kasus dugaan korupsi yang ikut bersaing dalam pilkada tahun ini. Selain Imas, ada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, yang berkompetisi di pemilihan bupati Jombang, Jawa Timur, serta Bupati Ngada Marianus Sae yang turut dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Pada Pilkada serentak 2015, ada empat kepala daerah yang dilantik dengan berstatus tersangka. Mereka Wali Kota Gunungsitoli Sumatra Utara, Lakhomizaro Zebua, Bupati Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur, Marthen Dira Tome, Bupati Ngada Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae, dan Bupati Maros Sulawesi Selatan Hatta Rahman.

Sebagian dari para tersangka yang kemudian terpilih dalam pilkada, bahkan dilantik di penjara. Dua di antara mereka adalah Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih dan Bupati Mesuji, Lampung, Khamami.

Fakta ini tentu saja membuat kita semua prihatin. Demokrasi bersih dan berintegritas yang diimpikan masih jauh dari harapan. Namun, tentu saja tak boleh berputus asa dan menyerah begitu saja.

Sebuah apresiasi patut disematkan pada Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Timur, yang beberapa waktu lalu menginisiasi Deklarasi Tolak dan Lawan Politik Uang dan Politisasi SARA untuk Pilkada Kaltim 2018 yang berintegritas.

Kegiatan yang berlangsung di Swiss Bell Hotel Samarinda, 14 Februari 2018 ini sangat krusial dilakukan karena Kaltim sebagai salah satu daerah yang dikategorikan memiliki kerawanan tinggi. Pelbagai upaya mendesign demokrasi berintigritas patut terus diperjuangkan. 

Seluruh rakyat perlu mengawasi pilkada tahun ini.

Harapan kita pun Bawaslu harus  menegakkan keadilan pemilu, yang  menjadi slogan adi luhung demi terciptanya produk pemilu yakni pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas. Deklarasi tersebut menjadi satu momentum tekad dan kebersamaan karena juga dihadiri pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Timur.

Soliditas dan solidaritas menghilangkan politik uang dan politisasi SARA memang seharusnya dilakukan secara bersama-sama.  Sayangnya, Deklarasi tersebut tak dihadiri seluruh paslon. 

 

Dari 4 paslon yang diundang, ada 2 paslon yang tidak hadir. Mereka yang tidak hadir adalah pasangan Syaharie Jaang-Awang Ferdian serta Rusmadi-Safarudin. Sedangkan 2 paslon yang hadir, yaitu Sofyan Hasdam-Nusyirwan Ismail yang diusung Golkar dan Nasdom serta paslon Isran Noor-Hadi Mulyadi yang diusung Gerindra dan PKS.

Ketidakhadiran itu tentu mengundang kekecewaan publik Kaltim dan Bawaslu. Tapi meski tidak dihadiri dua kandidat, mudah-mudahan ke depannya Deklarasi Tolak dan Lawan Politik Uang dan Politisasi SARA, bisa menjadi oase dan pelecut tumbuhnya embrio Demokrasi Berintegritas.

Khususnya di Kaltim dan umumnya di Indonesia.

Deklarasi tersebut amat krusial lantaran  strategi dan teknis politik negatif dan hitam ini tentu saja akan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak berintegritas. Pentingnya kebulatan tekad memerangi politik negatif dan hitam ini seharusnya menjadi bagian dari prinsip setiap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Indonesia.  Sehingga menjadi kewajiban setiap calon kepala daerah untuk dapat ikut serta dan hadir dengan memberikan komitment untuk berperang terhadap hal tersebut.

Pemilu tanpa politik uang dan politisasi SARA ini akan melahirkan kepala daerah dan wakil rakyat yang berkomitmen menjadi pelayan masyarakat dan tentu saja memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Mampu kah?

Mudah-mudahan Pilkada Serentak 2018 bisa dilakukan dengan mengedepankan etika, program yang membumi dan memberi ketauladan yang elegan. Mudah-mudahan pula  harapan kita semua bisa terwujud.

*) Ketua AMPG Kaltim

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement