Kamis 28 Dec 2017 01:00 WIB

Begini Cara Kampanye Komunitas LGBT di Internet?

Tolak LGBT/Ilustrasi
Tolak LGBT/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hariqo Wibawa Satria MSI *)

Adakah kampanye LGBT di internet? Ada. Apakah kampanye itu terorganisir?. Ya. Saya jawab “ada” dan “ya” setelah melihat berbagai produk komunikasi terkait LGBT di internet dan beberapa website. Jadi kampanye LGBT itu terorganisir, ada timnya, punya strategi, tampak kerja dan produk komunikasinya, dan lain-lain. Ya, internet bisa membesarkan kelompok kecil seperti LGBT.

Dalam sebuah dokumen di situs www.id.undp.org berjudul “Laporan LGBT Nasional Indonesia” juga direkomendasikan agar setiap organisasi LGBT menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Dokumen tersebut merupakan hasil diskusi di Bali pada Juni 2013 yang didukung oleh UNDP dan USAID (United States Agency for International Development).

Tujuan akhir kampanye LGBT adalah melegalkan pernikahan sesama jenis di Indonesia. Memang tidak secara tegas disampaikan dalam visi misi dan program organisasi pendukung LGBT, namun dari apa yang mereka unggah di media sosial, jelas mereka ingin Indonesia seperti Amerika Serikat.

Tekad ini diakui seorang pendiri komunitas LGBT di Indonesia. Dia berharap, Indonesia melegalkan pernikahan sejenis. Namun, saat ini, yang terpenting menurutnya adalah menyiapkan masyarakat untuk menerima keputusan tersebut.

Tentunya mereka punya tahapan, sekarang mereka sukses menciptakan pro dan kontra di masyarakat. Tidak penting banyak yang menolak, yang utama adalah terus membiarkan ini menjadi polemik. Caranya terus produksi konten sebagai bahan debat di media sosial, hingga masyarakat terbiasa berbeda kemudian menerima LGBT sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah, ujungnya menghormati keputusan-keputusan pemerintah yang menguntungkan perkembangan LGBT.

Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal kesusilaan, sebuah media online nasional menurunkan berita berjudul “Netizen Sambut ‘Kemenangan’ LGBT Usai Putusan MK”. Media itu mengutip empat akun twitter warga yang menyambut kemenangan dan dua akun twitter politisi yang kecewa dengan keputusan MK. Ini apa tujuannya kira-kira?.

Aktivis LGBT juga melakukan survei, penelitian, diskusi, konseling, jumpa pers. Mereka juga membuat buku, leaflet, e-poster, video, infografis, tulisan serta konten lainnya. Bahan-bahan untuk debat di medsos juga disediakan di website. Mereka melakukan produksi dan distribusi berbagai konten untuk membela LGBT, merangkul, mengarahkan kepada tujuan utama.

Di internet, mereka juga membuka pendaftaran anggota yang terdiri dari tiga kategori: anggota biasa, anggota luar biasa, anggota kehormatan. Syarat menjadi anggota biasa adalah, pertama, individu yang mempunyai orientasi seksual/identitas gender LGBT dan/atau individu yang mempunyai orientasi heteroseksual yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan hak-hak dasar LGBT, dan yang kedua cukup menarik karena selain warga negara Indonesia, warga negara asing juga boleh menjadi anggota.

Meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun jika melihat empat program yang dicanangkan (pengorganisasian, pendidikan, kampanye publik, advokasi kebijakan) tampak mulai menuai hasil. Dengan kerja seperti ini, mungkinkah pernikahan sejenis dibolehkan di Indonesia?.

Melihat polemik dan respons masyarakat terhadap LGBT, pemerintah sebaiknya merespons dengan tegas. Jika tidak, ancamannya bukan hanya kerusakan masyarakat, namun bisa berimbas kepada keutuhan NKRI. Soal ini saya akan menulis dalam topik khusus.

Di medsos, beberapa aktivis LGBT serampangan menuduh Indonesia tertinggal dibanding Amerika, untuk tidak saya sebut minder. “Indonesia harusnya belajar sama Amerika dan Eropa, di sana saja nikah sejenis dilindungi Negara. Semoga Indonesia lebih banyak lagi belajar pada Amerika dan Eropa agar Indonesia cinta LGBT”, tulis mereka lewat akun twitter.

Terinspirasi dari orang-orang di luar negeri yang mengaku sebagai gay atau lesbian dan kekeliruan mencerna kalimat “jadilah dirimu sendiri”, maka mulai muncul pengakuan sebagai LGBT. Pengakuan ini menarik bagi media untuk dipertontonkan karena menarik pembaca dan pemirsa yang banyak. Mirip pemasaran produk, salah satu konten terkuat adalah pengakuan-pengakuan, karena memunculkan simpati, empati.

Sebuah upaya serius telah dilakukan oleh Ilham Havifi, seorang mahasiswa S-2 Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Tahun 2016 lalu, dia menulis sebuah makalah ilmiah berjudul “Konten LGBT di Media Sosial dan Persepsi Kelompok Usia Muda dalam Beprilaku”.  Makalah ini hasil penelitian Ilham Havivi di Bukittinggi, Sumatera Barat. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah: adanya pengaruh konten LGBT di media sosial instagram dan persepsi kelompok usia muda dalam berprilaku, yang tergolong berpengaruh sedang.

Secara umum di internet, saya melihat promosi LGBT dilakukan oleh pengusaha media sosial dan pengguna media sosial. Pengusaha media sosial yang dimaksud adalah aplikasi line, whatsapp, facebook. Line dan facebook pernah memuat stiker bernada LGBT dan sekarang sudah dihapus.

Menghadapi pengusaha media sosial ini memang dilema, karena ketergantungan masyarakat Indonesia tinggi. Pernah pemerintah memblokir telegram dan mengultimatum akan menutup whatsapp, namun Pemerintah justru ditentang oleh warganya sendiri. Karni Ilyas juga pernah menanyakan kenapa line mempromosikan LGBT. Sayang saat itu tidak dijawab dalam forum ILC.

Posisi Indonesia lemah, karena tidak punya media sosial karya anak bangsa yang mampu menyaingi media sosial karya orang luar. Akan besar dampaknya jika Jokowi, Jusuf Kalla, Prabowo, Anies Baswedan, Para Kiai, Pimpinan Muhammadiyah, NU, PGI, PHDI, Matakin, Walubi, KWI, dan tokoh-tokoh lain juga menggunakan, mempromosikan media sosial karya anak bangsa.

Kreativitas harus dilawan kreativitas. Nah, mampukah kita membuat medsos seperti facebook, perlu anak muda yang didukung semua, sebagaimana pemerintah Amerika mendukung facebook, google, youtube, dan medsos karya anak Amerika lainnya. Atau selamanya bangsa kita menjadi pengguna medsos karya orang lain.

Dampaknya sudah terasa, pemerintah kewalahan atau tidak bisa cepat menghapus konten-konten yang merugikan kepentingan nasional seperti promosi LGBT, gerakan separatisme, radikalisme, hoaks di media sosial. Membangun jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya penting, namun membangun medsos dan mesin pencari juga penting.

 

*) Direktur Eksekutif Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement