Apalagi, sebagian besar generasi hasil didikan era 1950-an yang tersebar, baik di LAPAN, IPTN, BPPT, maupun ITB tersebut telah banyak yang pensiun dan jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Di satu sisi, ITB sebagai satu-satunya institusi pendidikan yang memiliki program pengembangan keilmuan teknologi dirgantara di Indonesia hanya meluluskan sebanyak 60 orang lulusan aerospace engineers per tahun.
Dari sini kita memahami, dengan adanya program sejenis R 80, kemampuan engineering dari sebagian engineer senior yang pernah terlibat dalam rancang bangun pesawat NC 212, CN 235, N 250 hingga preliminary design pesawat jet N 2130 dapat ditularkan ke engineer muda.
Setelah kita ketahui potensi pasar, keunggulan teknologi dari R 80 ditambah lagi ancaman punahnya generasi emas dirgantara, maka pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana dukungan nasional terhadap pengembangan R 80 khususnya dukungan kebijakan pendanaan?
Setelah empat tahun dari fase initial design-nya, yaitu tahun 2013, dukungan bagi pengembangan pesawat R 80 akhirnya dinyatakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN).
Namun, dukungan tersebut tentunya belum cukup, apalagi mengingat biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan R80 sangat besar, yaitu sekitar 1 miliar dolar AS dengan perincian, 700 juta dolar AS digalang swasta dan 300 juta dolar AS dukungan pemerintah berupa investasi kepada institusi kedirgantaraan (Muzakir, 2015).
Studi penulis pada 2015 menemukan, keberhasilan industri pesawat Avic China, Embraer-Brazil, WACO-Amerika Serikat, hingga Airbus adalah karena kuatnya dukungan pemerintah dalam pendanaan proyek mereka.
Hal senada juga dilaporkan The ERA Regional Airline Conference 2015, bahwa kuatnya dukungan pendanaan juga menjadi sebab suksesnya pesaing R 80, yaitu ATR 72: 600 ataupun Dash8-Q-400 Canada. Dukungan pemerintah merupakan sarat mutlak untuk mendapatkan suntikan dana dari investor dalam ataupun luar negeri.
Sayangnya, dalam konteks nasional, peraturan pemerintah yang mengatur pembebanan hipotek pesawat terbang sebagai jaminan pelunasan suatu utang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No 15 tahun 1992 tentang Penerbangan hingga saat ini belum direalisasikan.
Padahal, suatu yang hampir mustahil jika dana eksternal pembelian pesawat terbang hanya bersumber dari satu lembaga pembiayaan, apalagi hanya dari lembaga pembiayaan dalam negeri.
Kesimpulannya, jika political will untuk mendorong lahirnya segenap kebijakan operasional yang mengatur financing pesawat terbang tidak segera diperkuat, yang akan terjadi adalah sirnanya kemampuan merancang bangun pesawat terbang sekelas R 80.
Pada ujungnya, R 80 akan bernasib sama dengan pendahulunya N 250, semoga tidak!