REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan belum bisa memastikan apakah akan melakukan pemeriksaan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto setelah penetapan tersangka yang kembali dilakukan KPK pada Jumat (10/11).
"Nanti kami informasikan lebih lanjut (pemeriksaan Setnov). Yang pasti saat ini KPK masih terus menyidik kasus ini dan mengkaji UU MD3 yang dijadikan alasan ketika yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Jumat (10/11).
Untuk penahanan Setnov, sambung Febri, KPK akan melakukan hal yang sama seperti kasus lainnya, dimana penyidik KPK akan fokus terhadap pemeriksaan saksi, tersangka dan keterangan para ahli serta pengumpulan alat bukti.
Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan proses penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar. Dalam tahap penyelidikan, kata Saut, KPK sudah mengirimkan permintaan keterangan saksi terhadap Novanto sebanyak dua kali yakni pada (13/10) dan (18/10), namunyang bersangkutan tidak hadir lantaran sedang dalam tugas kedinasan.
Mangkirnya Novanto, tak membuat penyidik putus asa dan terus melakukan proses pemeriksaan terhadap beberapa saksi dengan unsur anggota DPR, swasta dan para pejabat Kemendagri. Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, melakukan gelar perkara pada (28/10) dan mengeluarkan SPDP penyidikan baru kasus KTP-el pada (31/10). Dalam SPDP tersebut pun terdapatSprindik dengan nomor 113/01//10/2017.
"Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK juga telah mengantar surat pada (3/11) perihal SPDP dan diantar ke rumah SN di Jalan Wijaya Kebayoran Baru pada sore harinya," jelas Saut.
KPK mendugaNovanto yang pada saat proyek KTP-el bergulir menjabat sebagai anggotaDPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.