Sabtu 28 Oct 2017 04:00 WIB

Efektifkah Kebijakan Satu Harga BBM?

Ketua YLKI Tulus Abadi
Foto:

Tanpa izin resmi, pengecer bahan bakar minyak bisa dikategorikan sebagai pengecer ilegal. Namun, pada tataran empiris bukan perkara gampang untuk melakukan penegakan hukum pada pengecer ilegal tersebut. Selain mereka sudah menguasai pasar, juga letak geografis yang jauh dan luasnya area. Tentu agen resmi besutan tak akan mampu menjangkau hingga ke area akar rumput.

Akibatnya, jika hanya mengandalkan keberadaan agen resmi, jarak tempuh bagi konsumen ke agen resmi terlalu jauh. Keberadaan penyalur tidak resmi praktis masih dibutuhkan. Pada titik inilah kebijakan satu harga BBM bisa kita katakan belum 100 persen berhasil.

Lantas bagaimanakah skema distribusi yang realistis dan siapakah yang harus bertanggung jawab? Adalah tidak fair jika pengawasannya dibebankan kepada PT Pertamina. Rantai distribusi PT Pertamina tak mampu mengawasi sampai ke level bawah.

Merujuk pada Perpres Nomor 191 Tahun 2014, tugas pengawasan distribusi BBM adalah kewenangan BPH Migas, yang berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini pemerintah daerah (pemda). Konkretnya, BPH Migas harus bersinergi dengan pemda setempat. Pemda punya andil besar untuk menjaga kebijakan satu harga agar berjalan efektif dan fair. Aparat pemda tahu persis, siapa saja pemainnya dan berapa jumlah pengecernya.

Kebijakan satu harga BBM memberikan nilai tambah bagi ekonomi daerah. Bahkan secara psikologi politik, pimpinan daerah akan mendapatkan nilai plus di mata publik. Di sisi lain, keberadaan para pengecer tetap diakomodasi demi kemudahan akses bagi konsumen. Para pengecer tidak dilarang, tetapi dirangkul untuk membantu penyaluran BBM. Para pengecer diberikan skema harga yang berbeda dengan harga resmi, tetapi besaran harganya tetap terkontrol. Konteksnya keberadaan mereka "dibina", bukan "dibinasakan".

Harga eceran tertingginya (HET) tetap under control sehingga tidak mengganggu daya beli masyarakat. Akses masyarakat untuk membeli BBM tetap terjaga, dengan harga rasional dan terjangkau. Untuk mewujudkan kebijakan satu harga BBM di wilayah terluar, terpencil, dan terdepan Indonesia, faktanya tak semudah membalikkan telapak tangan.

Bukan sekadar PT Pertamina menggelontorkan fulus hingga ratusan miliar guna membentuk agen resmi, kemudian harga bahan bakar minyak turun dengan sendirinya. Banyak onak dan duri sebab faktanya ada kepentingan ekonomi pihak tertentu yang akan terganggu, kemudian pasti merasa dirugikan dengan kebijakan satu harga ini. Pendekatan hukum bukanlah satu-satunya solusi terbaik.

Diperlukan koordinasi dan sinergi yang kuat, baik dari sisi sosiologis maupun politis guna memangkas pemburu rente dibisnis retail bahan bakar minyak di area terluar, terpencil, dan terdepan Indonesia. Adalah hak asasi konsumen untuk mendapatkan komoditas energi (BBM) dengan harga terjangkau dan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Janganlah dana ratusan miliar bahkan triliunan rupiah menguap tak jelas juntrungannya, karena gagal dalam pengawasan di lapangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement