Kamis 12 Oct 2017 04:33 WIB

Membaca Arah Langkah Gatot Nurmantyo

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Arif Supriyono, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Namanya belum menjadi perbincangan publik saat dia diangkat sebagai pangkostrad (panglima komando cadangan strategis angkatan darat). Khalayak pun belum begitu memberi perhatian saat lulusan Akademi Militer 1982 itu menjadi kepala staf angkatan darat pada pertengahan 2014 di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Nama pria kelahiran 13 Maret 1960 di Tegal, Jawa Tengah itu baru mulai menjadi pembicaraan tatkala ia diangkat Presiden Joko Widodo sebagai panglima TNI pada 8 Juli 2015, menggantikan Jenderal Moeldoko. Kasak-kusuk pun terdengar dan sempat ada yang menyebutkan, pria bernama Gatot Nurmantyo itu merupakan orangnya Jokowi.

Dugaan itu memang tidak didasari fakta yang kuat. Alasan pertama kedekatan Jokowi dengan Gatot Nurmantyo semata-mata karena keduanya berasal dari wilayah yang tak terlalu jauh. Jokowi dari Solo dan Gatot dari Tegal. Dua kota itu berada dalam satu provinsi yang sama: Jawa Tengah.

Alasan berikutnya adalah soal rasionalitas belaka. Setiap presiden pasti berharap mendapat dukungan dari semua unsur masyarakat dan aparat. Karena itu, menjadi hal penting untuk menetapkan personel yang akan menduduki posisi utama di TNI.

Dengan mengangkat seorang panglima TNI, presiden tentu berharap komando militer bisa dikendalikan sesuai dengan kebutuhan kebijakan negara dan pemerintah. Jika militer bisa menjaga kedaulatan negara dan mampu mengamankan kebijakan dan sikap pemerintah, tentu hal ini akan membuat presiden menjadi nyaman. Untuk itu, pucuk pimpinan TNI senantiasa diharapkan bisa segaris dengan kebijakan yang diambil pemegang kekuasaan tertinggi.

Meski tak pernah berseberangan dengan kebijakan presiden, masyarakat melihat irama langkah dan ayunan gerak tangan Gatot tampaknya tak serta-merta senada. Beberapa hal di bawah ini mungkin bisa menjadi gambaran yang mencerminkan hal itu.

Saat terjadi demonstrasi Aksi Bela Islam 4 November (411) 2016, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengingatkan agar mewaspadai kelompok garis keras yang akan ikut atau memanfaatkan unjuk rasa tersebut. Malamnya, saat dini hari, Jokowi juga menyatakan adanya aktor-aktor politik yang menunggangi dan menafaatkan situasi demonstrasi tersebut. Walau begitu, tak jelas pihak mana yang dimaksud presiden.

Sikap Gatot Nurmantyo justru lebih dingin. Panglima TNI tak mempersoalkan unjuk rasa itu karena ia percaya ulama dan umat Islam memegang teguh kesatuan dan persatuan.

Saat menjelanng unjuk rasa Aksi Bela Islam 2 Desember (212) 2016 yang kemudian melibatkan lebih dari 2,5 juta massa, kapolri kembali menegaskan dalam unjuk rasa itu ada indikasi (rencana) makar. Lantaran itu, kepolisian sempat melarang rencana aksi tersebut.

Sikap berbeda disampaikan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Dalam sebuah wawancara di televisi, Gatot menyatakan tersinggung jika Aksi Bela Islam dianggap sebagai upaya makar. Ia berdalih, salah satu pendukung utama kemerdekaan Indonesia adalah peran umat dan ulama. Tanpa itu, mustahil kemerdekaan akan tercapai saat itu.

Sikap berbeda yang ditunjukkan Gatot membuat beberapa pihak blingsatan. Mereka sempat mengeluarkan seruan kepada presiden agar mencopot Gatot dari posisinya sebagai panglima TNI karena pandangannya dianggap tak sejalan dengan skenario pemerintah. Di sisi lain, sikap Gatot ini dianggap sekadar mencari popularitas untuk mencari simpati umat Islam dalam kaitan dengan pelaksanaan pemilu pada 2019 nanti.

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berbincang dengan Kapolri Tito Karnavian. (Foto: Republika/ Wihdan Hidayat)

 

Menghadapi pertanyaan seputar ambisinya untuk menjadi presiden, Gatot hanya berkilah, untuk saat ini lebih baik menjadi tumbal dalam melaksanakan tugas menjaga bhineka tunggal ika daripada menjadi presiden. Bagi Gatot, menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) aadalah bentuk lain dari jihad.

Isu terakhir yang melambungkan nama Gatot di pentas pemberitaan media adalah pernyataannya di depan purnawirawan perwira tinggi tentang adanya impor ilegal 5.000 senjata api. Setelah pernyataan ini beberapa pejabat terkait memberikan pernyataan; mulai dari Menko Polhukam Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kapolri Tito Karavian, Komandan Brimob Irjen Pol Murad Ismail, dan Wakapolri Komjen Pol Syafruddin. Keterangan mereka berbeda-beda, baik dari segi jumlah senjatanya maupun spesifikasi dan peruntukannya.

Sebagian pihak menyalahkan Gatot yang dianggap sebagai pemicu keributan. Pihak ini pun kembali meminta agar Jokowi memberhentikan Gatot sebagai panglima TNI dengan dalih, mencari panggung politik dan justru membuat kegaduhan.

Keterangan Gatot mendekati kebenaran saat tiba-tiba ada sekitar 2.800 pucuk senjata api masuk dari Bulgaria. Senjata api itu diangkut menggunakan pesawat Ukraina. Kemudian ditemukan pula, amunisi senjata api itu memunyai spesifikasi canggih yang belum pernah dimiliki TNI.

Meski faktanya memang ada impor senjata api, namun pihak yang mengecam Gatot tak juga surut. Mereka tetap minta agar Jokowi mencopot Gatot dari posisinya sebagai panglima TNI. Hingga kini, tuntutan itu belum juga ditanggapi presiden. Masyarakat pun ikut bertanya-tanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement