Senin 09 Oct 2017 07:49 WIB

Einstein dan Gelombang Gravitasi

Albert Einstein dan teori relativitas
Foto: guardian
Albert Einstein dan teori relativitas

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Freddy Permana Zen, Guru Besar Fisika Teoretik Energi Tinggi F MIPA ITB.

Beberapa hari lalu, tepatnya pada Selasa (3/10), Sekretaris Jenderal the Royal Swedish Academy of Sciences mengumumkan, hadiah Nobel bidang fisika 2017 diberikan kepada tiga fisikawan masing-masing R Weiss, BC Barish, dan KS Thorne atas kontribusi mereka dalam penemuan gelombang gravitasi.

Hadiah ini merupakan penantian panjang dari salah satu prediksi Einstein tentang adanya riak ruang-waktu yang dijalarkan akibat dinamika benda dengan massa yang besar (masif) di alam semesta serta dinamika ruang-waktu itu sendiri.

Sekitar 100 tahun lalu (1915), Einstein mengusulkan teori relativitas umum (TRU). Teori ini berbeda dengan relativitas khusus yang ia usulkan 10 tahun sebelumnya tentang inersia dan kecepatan cahaya.

Justru, TRU membahas tentang dinamika dari benda masif yang berada di alam semesta. Misalnya, planet-planet, bintang-bintang, serta galaksi-galaksi bahkan black hole (yang ditemukan kemudian).

Sebelum itu, selama 300 tahun, misalnya, penjelasan dinamika planet-planet di tata surya kita bersandarkan pada hukum Newton. Termasuk juga dalam penentuan posisi bulan serta penentuan musim dan lain-lain. Sehingga, selama itu, hukum Newton menjadi andalan.

Namun, teori Newton gagal dalam menjelaskan presisi perihelion (presisi jarak minimal dengan matahari) planet yang paling dekat dengan matahari, yaitu Merkurius. Dari observasi, melesetnya orbit Merkurius sebenarnya cukup kecil sekitar 43 busur detik tiap abad.

Walaupun kecil, haruslah dicari penyebabnya. Saat itu, orang mengira karena kehadiran planet lain yang mengganggu orbit Merkurius, sehingga orbitnya sedikit melenceng, yang kemudian tidak terbukti.

Tahun 1915, Einstein mengusulkan teori yang lebih fundamental tentang gravitasi dan ruang-waktu. Dia mengatakan, dinamika ruang-waktu beserta kelengkungannya ditentukan oleh massa suatu benda.

Misalnya massa matahari dan dinamikanya akan menentukan bagaimana ruang-waktu di sekitarnya melengkung, begitu juga dinamikanya.

Kalau ada benda lain yang bergerak di sekitar matahari maka lintasan benda tersebut akan mengikuti lengkungan dan dinamika ruang-waktu tersebut. Jadi, riak ruang-waktu pun ditentukan oleh dinamika massa matahari tersebut.

Dari sini berlaku aphorism (peribahasa) yang dibuat oleh J Wheeler dari Institute for Advanced Study, Princeton bahwa “Matter tells spacetime how to curve and spacetime tells matter how to move”. Dan kecepatan gerak lengkungan tersebut terjadi dalam kecepatan cahaya, yaitu kecepatan yang paling besar yang diketahui manusia saat ini.

Ujian pertama dari teori ini tentunya menghitung presisi Merkurius dan ternyata tepat seperti yang diamati sebesar 43 busur detik per abad. Ujian berikutnya berupa melengkungnya cahaya bintang ketika melewati matahari.

Sehingga, bintang-bintang yang berada “di belakang” matahari dapat diamati dari bumi. Dari persamaan medan Einstein kemudian dihitung bahwa lengkungan tersebut sebesar 1,74 busur detik.

Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh tim yang dipimpin oleh A Eddington pada saat terjadinya gerhana matahari di Pulau Principe, Afrika Barat, pada Mei 1919.

Dari sini, orang mengembangkan beberapa akibat dari teori tersebut, di antaranya adanya inflasi di awal terbentuknya alam semesta, yang diikuti big bang dan prediksi keberadaan black hole yang berupa akhir “hidup” sebuah bintang di akhir hidupnya.

Makhluk black hole ini sangat masif yang diperkirakan terbentuk karena dominasi medan gravitasi pada bintang tersebut, sehingga terbentuk lengkungan tertutup yang berupa event horizon, sehingga cahaya tidak dapat keluar dari lengkungan tersebut.

Dari pengamatan banyak black hole terbentuk di pusat-pusat galaksi, di antaranya di pusat galaksi kita milkyway (kabut susu) yang massanya jutaan kali massa matahari. Prediksi berikutnya riak dinamika ruang-waktu yang disebut gelombang gravitasi.

Gelombang gravitasi, yang diprediksi 100 tahun lalu sangat lemah, sehingga memerlukan detektor yang sangat sensitif untuk mendeteksinya.

Sejak lama orang berusaha mencarinya, dengan mengarahkan detektor ke tempat-tempat dengan sumber gravitasi yang besar. Gelombang ini dapat bersumber dari tabrakan dua buah black hole atau antarbintang neutron.

Generasi pertama detektor berbentuk interferometer yang di desain untuk mendeteksi emisi gelombang gravitasi dari kluster Virgo yang berjarak 15 megaparsec (sekitar 4,5x1023 meter atau 4,5 kali bilangan yang angka nol sebanyak 23 buah), jarak yang sangat jauh.

Interferometer tersebut berbentuk L yang panjang lengannya dua kilometer dan empat kilometer dan ujung-ujung lengan tersebut ditempatkan di Central Washington dan Livingstone, Louisiana.

Sensitivitas detektor dapat mengukur panjang gelombang sebesar satu per 10 ribu ukuran inti atom (panjang inti atom 10-15 meter), ukuran yang kecil. Selama 50 tahun orang mengamati gejala gelombang ini terus menerus.

Dan akhirnya tim the Laser Interferometer Gravitational-wave Observatory (LIGO) dapat mendeteksi riak gelombang tersebut untuk ketiga kalinya pada Januari 2017 karena tabrakan dua black hole 49 kali massa matahari.

Kali pertama pengamatan (September 2015), hasil dari tabrakan atau penggabungan dua black hole bermassa 62 kali massa matahari. Diikuti kali kedua diamati bulan Desember 2016 dari tabrakan dua black hole bermassa 21 kali massa matahari.

Hasil jerih payah dan ketekunan itulah yang kemudian membuat panitia Nobel dari Swedia menganugerahkan hadiah Nobel untuk kelompok fisikawan yang dipimpin ketiga ilmuwan yang disebutkan di awal tulisan ini.

Pertanyaan yang tersisa berupa manfaat penemuan tersebut untuk umat manusia. Yang pertama bisa disebut tentang pengembangan peradaban manusia.

Hasil ini menegaskan, manusia dengan akal yang dianugerahkan Allah SWT telah dapat menunjukkan kemampuan mengeksplorasi alam semesta sampai titik terjauh, mudah-mudahan dapat menyadarkan kita betapa besarnya jagat raya yang diciptakan Allah SWT ini.

Seharusnya, ini menambah keimanan kita. Berikutnya adalah inovasi teknologi. Untuk membuat detektor dengan sensitivitas yang tinggi tersebut memerlukan inovasi dan lompatan teknologi yang besar yang spin-off-nya dapat dimanfaatkan umat manusia.

Sebagai contoh lain, pengembangan komputer dipicu karena adanya pengembangan teori kuantum, sehingga chip atau IC dapat berkembang pesat.

Begitu juga dengan pengembangan internet di mulai karena adanya pengembangan komunikasi antarilmuwan di pusat nuklir Eropa (CERN) yang kemudian dimanfaatkan oleh militer.

Walaupun begitu, kita harus menyadari bahwa pengembangan dan inovasi teknologi seperti pisau bermata dua, ada positif dan ada negatif, bergantung pada cara kita menggunakannya. Insya Allah bemanfaat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement