Selasa 19 Sep 2017 07:44 WIB

Tan Malaka, Hatta, dan Stalin Para Diktator Perbudakan

Tan Malaka
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

Di Moskow,  di bawah pemimpin komunis Stalin,  Tan Malaka merasa tidak akan bisa hidup, karena dia tidak memiliki tulang punggung yang mudah membungkuk.

Tan Malaka menegaskan, dirinya tunduk kepada prinsip yang telah dimufakati bersama, tetapi dia tidak bisa menundukkan diri kepada orang seorang.

Dalam gerakan komunisme sebagaimana yang dipelajarinya,  dari semula berlaku dasar sama rata sama rasa,  berlaku demokrasi yang sepenuhnya.

Komunisme di bawah Stalin,  kata Tan Malaka, menanam dalam barisannya, perbudakan. Ada seorang pemimpin yang berkuasa,  yang lain itu budaknya. (Lihat gambar Stalin, di sebelah kiri).

"Apakah ini pembawaan dari golongan bangsa yang disebut Slavische volkeren?" tanya Tan Malaka yang menekankan kata "slavisch" itu seolah-olah sama artinya dengan "slaaf" dalam bahasa Belanda yang berarti "budak".

"Sebab itu," kata Tan Malaka, "aku menjauhi lingkungan yang bertentangan dengan komunisme yang sebenarnya. Aku pergi ke Timur Jauh, ikut berjuang di sana untuk kemerdekaan Indonesia."

Hatta menyela: "Bukankah diktator termasuk dalam sistem komunisme? Ambillah misalnya patokan Marx,  diktator proletariat."

Sigap Tan Malaka menjawab: "Diktator proletariat dalam teori Karl Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis atas sumber produksi ke tangan masyarakat. Kaum buruh, yang terbangun dahulu di bawah asuhan perjuangan kelas, menjadi perintis jalan untuk menegakkan keadilan ke jurusan sosialisme dan komunisme, yang akan terselenggara dalam produksi oleh orang banyak dan untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Ini bertentangan dengan diktator orang seorang!"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement