REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Densus Antikorupsi dinilai perlu dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia yang saat ini sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Namun, harus ada pembagian kerja yang jelas antara kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Perlu (adanya Densus Antikorupsi) karena begini, polisi kan memang lembaga yang dalam konstitusi merupakan lembaga permanen dalam melakukan penegakkan hukum. Termasuk menindak kasus korupsi," ujar pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta Ujang Komarudin saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (19/7).
Dengan adanya densus ini, dia mengatakan, polisi akan semakin kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Jadi, menurut Ujang, pembentukan densus itu tepat. Terlebih lagi, KPK bukan lembaga permanen seperti polisi. "Kalau KPK sifatnya ad hoc (sementara). Pembentukan densus sudah tepat. Cuma, persoalannya lagi, polisi harus bekerja secara proporsional," ungkap Ujang.
Polisi dinilai harus bekerja secara proporsional agar tidak ada campur aduk kewenangan dengan KPK. Jadi, harus ada pembagian tugas yang jelas di antara keduanya. "Karena korupsi kita sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Kalau tidak di basmi, maka bangsa ini bisa hancur dengan korupsinya. Karena itu, pembagian tugas antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian itu penting," tambah dia.
Selain itu, Ujang menambahkan, jika densus itu dibentuk, kerja mereka juga harus proporsional dalam arti jangan tebang pilih. Polisi juga diharapkan tidak melakukan kriminalisasi nantinya. "Jangan asal bekerja. Tapi, konteksnya penegakan hukum untuk bangsa yang lebih baik dan maju," kata dia.
Seperti diketahui, Kapolri Jenderal Pol M Tito Karnavian mengungkap Mabes Polri tengah menyusun pembentukan Datasemen Khusus (Densus) Anti-Tindak Pidana Korupsi. Tito mengatakan Densus Anti-Korupsi ini nantinya akan memiliki sumber daya manusia yang besar dan jaringannya luas. Sehingga menurut Tito, Polri bisa membantu KPK dalam upaya memberantas korupsi.